Judul
Buku : Pertemuan Dua Hati
Penulis : Nh. Dini
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka
Utama
Jumlah
Halaman : 87 Lembar
![](file:///C:/Users/ASUS/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
Mengapa memilih buku ini?
Dewasa ini minat baca seseorang terhadap novel sastra
lama sangatlah berkurang, bahkan dapat dikatakan sudah mulai hilang seiring
dengan semakin berkembangnya zaman. Kebanyakan dari mereka enggan membaca novel
sastra dikarenakan penggunaan bahasanya yang sulit untuk dimengerti, selain itu
ceritanya mungkin kurang menarik untuk bahan bacaan remaja saat ini. Karena
kekurangan itulah kadang-kadang sangat sulit untuk memahami isi dan maksud yang
terkandung didalamnya, bahkan biasanya kita harus membaca berulang-ulang agar
mengerti. Namun, berbeda dengan novel sastra karangan Nh. Dini. Meskipun novel Pertemuan
Dua Hati termasuk karya satra lama, tetapi bahasa yang digunakan sudah
menggunakan bahasa sehari-hari sehingga isinya mudah untuk dipahami, selain itu
cerita yang disajikan sangat menarik dan dapat menginspirasi pembacanya.
Sinopsis :
Bu Suci beserta suami dan ketiga anaknya memutuskan
pindah dari kota kecil Purwodadi menuju kota Semarang. Mereka sekeluarga
pindah, karena suaminya dipindah tugaskan di kota itu. Bu Suci bekerja sebagai
guru SD, suaminya bekerja di Perusahaan pengangkutan sebagai ahli mesin dan
pengawas bengkel, anaknya yang pertama perempuan masih duduk di bangku Sekolah
Dasar, anaknya yang kedua laki-laki duduk di Taman Kanak-Kanak, dan yang kecil
juga laki-laki. Dia masih tinggal di rumah, diasuh oleh uwakknya yang turut
keluarga sejak tiga tahun belakangan.
Setelah dua bulan tinggal di rumah baru, tidak lama
kemudian bu Suci mendapatkan surat panggilan dari Kepala Sekolah yang
memintanya datang ke sekolah. Bu Suci untuk sementara waktu menjadi guru
pengganti di SD tempat anaknya yang kedua bersekolah sambil menunggu surat
keputusan dari Dinas. Selama nanti menggajar, Kepala Sekolah memberitahukan
bahwa ia akan membimbing dua kelas tiga. Selain kabar gembira, kesedihan
menimpa Bu Suci karena keadaan putranya yang kedua semakin memburuk. Sejak
pindah di Semarang, seringkali anaknya rewel, menangis tanpa sebab yang
kelihatan nyata. Hari pertama mengajar Bu Suci memulainya dengan perkenalan
yang baik dengan murid-murid barunya. Kesan ramah dan baik selalu ditunjukkan
saat mengajar.
Hingga hari
keempat bu Suci mulai mampu menghafalkan nama-nama muridnya, namun ada salah
satu murid yang membuatnya penasaran yaitu Waskito. Waskito lama tidak masuk
sekolah dan teman-temannya tidak ada yang tahu alasan mengapa ia tidak pernah
dating ke sekolah. Bu Suci bertanya pada ketua kelas dan semua muridnya namun
mereka tidak memberikan jawaban yang berarti, namun terlihat dua orang muridnya
yang sedang asik berbisik-bisik memberikan tanda seolah mengetahuinya. Cukup
lama didesak bercerita akhirnya mereka menceritakan apa yang mereka ketahui.
Mereka merasa senang karena Waskito tidak masuk sekolah, karena jika dia masuk,
mereka merasa tersiksa dengan perlakuan Waskito yang suka marah dan menyakiti
teman-temannya tanpa alasan. Naluri seorang guru sedang mengejolak dalam hati
bu Suci, ada rasa yang mendorongnya untuk mencari tahu penyebab Waskito tidak
disukai kehadirannya dikelas.
Namun, belum
selesai urusannya untuk mengali informasi tentang Waskito, bu Suci merasa
bimbang untuk memilih mana yang lebih dahulu diutamakan. Disatu sisi, ia ingin
menyelesaikan masalah di sekolahnya dan disisi lain ia juga seorang ibu yang
dituntut untuk mengurusi anaknya. Akhirnya keduanya diselesaikan secara
bersama-sama. Sesekali ia harus mondar-mandir kesekolah. Pagi ia mengantarkan
anaknya yang kedua untuk periksa kedokter perusahaan milik suaminya, setelah
itu ia kembali kesekolah untuk mengajar. Lama waktu berjalan, setelah beberapa
serangkaian tes dan pemeriksaan kesehatan selesai dilakukan, diketahui jika
anaknya yang kedua mengidap penyakit epilepsi. Penyakit itu cukup membuat bu
Suci sedih hatinya namun ia berusaha tabah dan sabar merawat anaknya agar dapat
sembuh. Selain sibuk mengurusi anaknya, ia juga tetap melakukan serangkaian
penyelidikan tentang muridnya yang bernama Waskito.
Bu Suci mengirimkan surat pada nenek Waskito dan
surat itu diterima baik olehnya. Langkah pertama, ia berkunjung kerumah nenek
Waskito, dari kunjungan itu ia mulai
menemukan penyebab mengapa Wakito sering berbuat onar dikelas dan sering
menyakiti teman-temannya. Waskito berbuat seperti itu karena kurangnya rasa
perhatian dari kedua orang tuanya yang sibuk bekerja. Ia hanya diberi uang dan
mainan serba bagus dan mewah tanpa adanya kasihsayang dan perhatian dari kedua
orangtuanya. Waskito mungkin merasa iri dengan beberapa temannya yang sering
diantar kesekolah oleh ayahnya, karena itu dia melampiaskan amarah kepada
teman-temannya. Butuh waktu lama untuk merubah sikap anarki yang sering
ditunjukan Waskito disekolah. Bu Suci memiliki keyakinan bahwa Waskito
sebenarnya anak yang baik, namun hanya karena kurangnya perhatian dan
kasihsayang dari orangtua yang membuatnya berbuat seperti itu. Keyakinan bu
Suci terbukti setelah mendengar cerita dari nenek waskito. Selama dua bulan pun
Waskito mengalami perkembangan lebih baik dalam berprilaku. Waskito mulai rajin
masuk sekolah dan mengerjakan tugas yang diberikan.
Bu Suci yang bertanggungjawab atas Waskito dan ia
mampu membuktikannya dalam jangka waktu tiga bulan. Bu Suci mampu merubah
pandangan murid-murid, teman kerjanya dan Kepala Sekolah mengenai Waskito yang
dianggap mereka anak yang sukar. Keberhasilan itu, tentunya disertai dengan
usaha yang keras dan tanpa henti yang dilakukan oleh bu Suci yang mampu merubah
anak sukar menjadi anak baik. Selain berhasil berubah muridnya, ia juga
berhasil menjaga kesehatan anaknya yang kedua. Semakin lama, kesehatan anaknya
berangsur membaik meski harus tetap minum obat dan pulang lebih awal dari
teman-temanya yang lain.
Di bawah ini, akan
dibahas bagaimana analisis novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini.
Teori hunanistik, mengandung nilai bahwa setiap individu
harus mencapai aktualisasi dirinya masing-masing, selain itu, manusia juga harus
menjadi manusia yang seutuhnya, bukan manusia masa lalu yang dikuasai alam
bawah sadar (seperti pendapat psikoanalisa), bukan juga manusia yang hanya
dipengaruhi dan ditentukan oleh lingkungannya.
Abraham Maslow mengungkapkan bahwa setiap manusia memiliki
kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan tersebut yang memotivasi individu
tersebut untuk melakukan sebuah tindakan dan perilaku tertentu. Ada beberapa
hal dalam novel ini yang dapat dianalisis menggunakan teori humanistik yakni,
latar belakang cerita dalam novel ini adalah tanggung jawab seorang guru kepada
anak didiknya dan sekaligus seorang ibu kepada anaknya. Memunculkan suatu
masalah dikedua sisi yang mengharuskannya untuk mampu menyelesaikan semua
masalah yang terjadi dengan baik. Dengan kerja keras, pantang menyerah dan adanya bantuan
dari beberapa pihak pendukung, masalah dapat diselesaikan. Sehingga dapat dikatakan kebutuhan fisik dan
bantuan dari orang lain telah terpenuhi. Kemudian kisah mengenai tokoh yang bernama Warsito yang kehilangan karakter dirinya
sendiri hanya karena dia iri melihat teman-temanya diantar oleh ayah mereka
kesekolah. Sedangkan dia tidak pernah merasakan hal seperti itu. Warsito tidak
pernah mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuannya karena
mereka sibuk bekerja.
Hal ini menggambarkan bagaimana Warsito memiliki keinginan untuk dicintai
dan diperhatikan
oleh kedua orangtuannya. Sehingga kebutuhan tersebut mendorong Warsito menjadi
pribadi yang lain dari dirinya. Warsito menjadi pribadi yang nakal, bringas dan
brutal untuk melampiaskan kemarahannya dan rasa kecewannya. Selanjutnya, cerita dari tokoh Warsito yang ternyata lebih pandai
dalam bidang keterampilan membuat kerajinan, kisah tersebut menggambarkan bahwa
setiap manusia memiliki perbedan kemampuan yang menjadi potensi bagi dirinya. Namun, sering kali manusia tidak dapat
menggali kemampuan yang mereka miliki, sehingga timbul rasa kurang percaya diri
dan merasa tidak mampu melakukan apapun yang berguna bagi orang lain.
Yang kedua, teori Humanistik juga membahas tentang
kecenderungan aktualisasi yang dimiliki manusia, salah satu bentuknya berupa
kecenderungan untuk menolak perubahan. Karakteristik manusia masa depan lainnya
yang diungkap pada teori ini adalah kepercayaan mereka terhadap diri mereka
sendiri. Merubah
Warsito menjadi pribadi yang baik sangatlah sulit. Bu Suci harus berusaha
ekstra untuk membersihkan nama Warsito yang telah dicap buruk oleh
teman-temannya, guru-guru, dan kepala sekolah. Bu Suci membutuhkan waktu yang
tidak sebentar untuk mampu merubah Warsito menjadi anak baik, rajin, dan penurut. Kadang-kadang sifat brutalnya
hilang, namun datang kembali hingga merisaukan hati Bu Suci. Namun karena Bu
Suci yakin bisa merubah Warsito menjadi anak yang baik, Bu Suci melakukan
berbagai cara agar tugasnya berhasil diselesaikannya.
Manusia masa depan juga mempunyai kepercayaan pada
kemanusiaan. Mereka tidak akan menyakiti orang lain hanya untuk kepentingan
pribadi, peduli pada orang lain dan akan siap membantu apabila diperlukan. Warsitopun
mampu berubah menjadi dirinya sendiri dan menjadi anak yang pandai, rajin,
penurut. Warsito berubah menjadi anak yang lebih baik daripada sebelumnya.
Warsito mau membantu suami Bu Suci saat membenarkan perkakas yang rusak, mau
menyelesaikan tugas kelompok dan hasilnya memuaskan berkat dirinya.
Jadi,
teori Humanistik, menjadikan manusia sebagai pusat dari semua tindakan.Teori ini mengajarkan bagaimana cara menghargai orang
lain, mendorong manusia untuk dapat mengaktualisasikan dirinya, serta
memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk merayakan perbedaan yang ada, mengajarkan
sikap tak pernah pantang menyerah dan selalu berusaha.
Sisi
positif
Sisi positif dari
buku ini terdapat banyak sekali motivasi dan pembelajaran yang dapat diteladani.
Novel ini penceritaannya begitu
sederhana namun syarat
akan makna dan pesan moral yang mendalam, bahkan sanggup untuk
membuat perubahan dalam diri pembacanya sebagai
seorang manusia yang lebih baik dari
sebelumnya. Manusia yang tanggung jawab akan tugasnya, manusia yang tak lupa kepada TUHAN-NYA,
manusia yang sabar dan penuh cinta kasih.
Manusia yang selalu ikhlas menerima,
tidak mau menyerah dengan keadaannya dan menghimpun kekuatan untuk terus
bersemangat dan berusaha
menyelesaikan masalah untuk menghadapi setiap
tantangan yang ada dalam kehidupan. Selain itu klimaks dari kisah ini, diringkas
dalam kalimat-kalimat yang begitu memotivasi para pembacanya, seperti dikutip
di bawah ini:
Kami guru-guru
Sekolah Dasar terlalu biasa menerima kata-kata sesalan atau cacian jika murid
tidak naik kelas. Sebaliknya, jika anak didik naik, itu dianggap sebagai hal
yang semestinya sehingga orang tua atau wali tidak merasa berkepentingan
mengunjungi kami untuk sekedar menyalami. Apalagi membawakan rasa terima kasih
mereka!
Tetapi tidak mengapalah.
Masing-masing
dari kami mempunyai tugas dalam hidup ini. Aku memilih menjadi pendidik, bagi
anak-anakku dan murid yang dipasrahkan kepadaku. Gaji atau penghargaan
seringkali meleset, tidak sesuai dengan jasa yang secara rendah hati kami
sumbangkan bagi pembangunan watak tiang masa depan. Mudah-mudahan Tuhan selalu
menolongku dalam melaksanakan tugas ini. ( Pertemuan Dua Hati 85 )
Mengapa
buku ini layak di baca?
Buku ini sangat layak dibaca sebagai buku motivasi
sekaligus buku pembelajaran bagi kaum mahasiswa yang hendak menjadi guru atau menjadi
ibu. Banyak bagian-bagian penting dari tingkah laku dan sifat tokoh yang dapat
kita jadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasanya yang mudah
dipahami, akan memudahkan pembaca untuk secara lebih cepat memahami isi yang
terdapat didalam cerita tersebut.
Dalam cerita ini,
penulis sangat senang bermain dalam latar tempat dan peristiwa, sehingga penulis
menjabarkannya secara agar kita mampu mengetahui secara runtut kejadian yang
terjadi. Konflik yang dimunculkan hingga proses penyelesaian masalah-masalah
yang terjadi didalam cerita diulas secara menyeluruh.
Dalam penceritaannya Nh. Dini
seolah-olah ingin menumbuhkan semangat pantang menyerah dalam menghadapi
masalah yang sedang kita hadapi dan memberitahu kita agar tetap sabar, selalu
berdoa, berikhtiar serta tak lelah berusaha semaksimal mungkin agar masalah
mampu terselesaikan. Secara pribadi, buku ini memang sangat mengena dihati
saya, memberikan banyak pelajaran tentang arti kehidupan, arti tangung jawab
terhadap apa yang telah menjadi tugas kita, dan memberikan keyakinan bahwa
ALLAH selalu ada menolong hambanya yang dalam kesulitan.
Siapa
yang cocok membaca buku ini ?
Buku ini sangat
cocok dibaca untuk kalangan mahasiswa jurusan pendidikan, guru, dan orang tua
khususnya para ibu. Buku ini baik untuk para mahasiswa sebagai penambah wawasan
bagaimana kedepan kita harus bersikap baik ketika telah menjadi seorang guru.
Untuk kalangan guru, buku ini dapat memberikan bantuan, motivasi, penyemangat
ketika menghadapi anak didik yang sering membuat masalah. Bagi orang tua, buku
ini mampu memberikan pengetahuan, serta bimbingan bagaimana menjadi seorang ibu
yang baik, yang mampu menjaga anak-anakny, bagaimana sebaiknya menghadapi anak
agar mereka nyaman dengan orang tua.
Tentang Penulis
Biografi NH Dini
![Description: C:\Users\Eniph\Downloads\NH_Dini.jpg](file:///C:/Users/ASUS/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.jpg)
Nama: Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin
Nama Populer:NH Dini
Lahir: Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936
Agama: Islam
Sejarah hidup
NH Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo
dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan
empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap
berujar, “Nah, darah Bugisnya muncul". NH Dini mengaku mulai tertarik
menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang
merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan
itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita
padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung,
Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya.
Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan
pemahamannya akan lingkungan.
Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita
sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya kepadanya, ternyata Dini
tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi sopir lokomotif atau
masinis. Tapi ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak
menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api. Kalau pada akhirnya ia menjadi
penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin
tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya, biasanya dia berpikir
jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia memang
mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya. Dini ditinggal wafat
ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa penghasilan
tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. Bakatnya menulis fiksi semakin
terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding
sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama
dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia
rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di [[RRI]Semarang dalam acara
Tunas Mekar.
Karier
Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang
sastra dari Pemerintah Thailand ini sudah telajur dicap sebagai sastrawan di
Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang
menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap
lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia digelari pengarang sastra feminis.
Pendiri Pondok Baca NH Dini di Sekayu, Semarang ini sudah melahirkan puluhan
karya. Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan
nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal(1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya
dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan. Budi Darma
menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan
kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan
bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender
yang sering kali merugikan kaum perempuan. Dalam karyanya yang terbaru
berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang
bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya. Ia seorang pengarang yang
menulis dengan telaten dan produktif, seperti komentar Putu Wijaya; 'kebawelan yang panjang.'
Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20
buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun
banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula
yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya
sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya
lagi. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari
semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya
banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya
sastra. Bukti keseriusannya dalam bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya,
masuk jurusan sastra ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai
mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan
kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri.
Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain
menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok
sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap
ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah.
Setelah di SMA Semarang, ia pun menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Seri di
Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang. Bakatnya sebagai tukang cerita terus
dipupuk.
Pada 1956, sambil bekerja di Garuda Indonesia Airways (GIA) di Bandara Kemayoran, Dini
menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia. Sejumlah bukunya bahkan mengalami cetak ulang sampai
beberapa kali - hal yang sulit dicapai oleh kebanyakan buku sastra. Buku lain
yang tenar karya Dini adalah Namaku Hiroko dan Keberangkatan. la juga
menerbitkan serial kenangan, sementara cerpen dan tulisan lain juga terus
mengalir dari tangannya. Walau dalam keadaan sakit sekalipun, ia terus
berkarya. Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya
teknik bukan tujuan melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide.
Tidak heran bila kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan
dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil
mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional. Ia mengakui bahwa
produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Ia mengambil contoh bukunya
yang berjudul Pada Sebuah Kapal, prosesnya hampir sepuluh tahun sampai buku itu
terbit padahal mengetiknya hanya sebulan. Baginya, yang paling mengasyikkan
adalah mengumpulkan catatan serta penggalan termasuk adegan fisik, gagasan dan
lain-lain. Ketika ia melihat melihat atau mendengar yang unik, sebelum tidur ia
tulis tulis dulu di blocknote dengan tulis tangan.
Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis
di Kobe, Jepang, pada 1960. Dari pernikahan itu ia dikaruniai
dua anak, Marie-Claire Lintang (kini 42 tahun) dan Pierre Louis Padang (kini 36
tahun). Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan anak bungsunya menetap di
Prancis. Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus
mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang, dan tiga tahun
kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja. Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada
1966, Dini melahirkan anak keduanya pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris,
ia tercatat sebagai anggota Les Amis dela Natura (Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan burung belibis yang
terkena polusi oleh tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis.
Setahun kemudian ia mengikuti suaminya yang
ditempatkan di Manila, Filipina. Pada 1976, ia pindah ke Detroit, AS, mengikuti suaminya yang menjabat Konsul
Jenderal Prancis. Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan
mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri
Jakarta. Mantan suaminya masih sering berkunjung ke Indonesia. Dini sendiri
pernah ke Kanada ketika akan mengawinkan Lintang,
anaknya. Lintang sebenarnya sudah melihat mengapa ibunya berani mengambil
keputusan cerai. Padahal waktu itu semua orang menyalahkannya karena dia
meninggalkan konstitusi perkawinan dan anak-anak. Karena itulah ia tak
memperoleh apa-apa dari mantan suaminya itu. Ia hanya memperoleh 10.000 dollar
AS yang kemudian digunakannya untuk membuat pondok baca anak-anak di Sekayu,
Semarang.
Dini yang pencinta lingkungan dan pernah ikut
Menteri KLH Emil Salim menggiring Gajah Lebong Hitam, tampaknya
memang ekstra hati-hati dalam memilih pasangan setelah pengalaman panjangnya
bersama diplomat Perancis itu. la pernah jatuh bangun, tatkala terserang
penyakit 1974, di saat ia dan suaminya sudah pisah tempat tidur. Kala itu, ada
yang bilang ia terserang tumor, kanker. Namun sebenarnya kandungannya amoh
sehingga blooding, karena itu ia banyak kekurangan darah. Secara patologi memang ada sel asing. Kepulangannya ke
Indonesia dengan tekad untuk menjadi penulis dan hidup dari karya-karyanya,
adalah suatu keberanian yang luar biasa. Dia sendiri mengaku belum melihat
ladang lain, sekalipun dia mantan pramugrari GIA, mantan penyiar radio dan
penari. Tekadnya hidup sebagai pengarang sudah tak terbantahkan lagi.
Dini kemudian sakit keras, hepatitis-B, selama 14 hari. Biaya pengobatannya dibantu oleh
Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto. Karena ia sakit, ia juga menjalani USG, yang hasilnya menyatakan ada batu di empedunya. Biaya
operasi sebesar tujuh juta rupiah serta biaya lain-lain memaksa ia harus
membayar biaya total sebesar 11 juta. Dewan Kesenian Jawa Tengah,
mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Hatinya semakin tersentuh ketika
mengetahui ada guru-guru SD yang ikut menyumbang, baik sebesar 10 ribu, atau 25
ribu. Setelah ia sembuh, Dini, mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar bahwa
banyak orang yang peduli kepadanya. Sejak 16 Desember 2003, ia kemudian menetap
di Sleman, Yogyakarta. Ia yang semula menetap di Semarang, kini
tinggal di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman,
Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X yang mendengar kepindahannya,
menyarankan Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal empat ribu buku dari
tujuh ribu buku perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary ClubSemarang.
Komentar
Posting Komentar