PENDEKATAN
SOSIOLOGIS SASTRA
UNTUK MEMENUHI TUGAS
MATAKULIAH
Kritik Sastra
Yang dibina oleh Bapak
Wahyudi Siswanto
Oleh :
Enif
Nurul K
Faiz
Akhmalia
Ratna
Sari Dewi
Siti
Rohmatus S
![Description: Logo um bw.bmp](file:///C:/Users/admin/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
SASTRA
PRODI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA dan
DAERAH
April
2012
PENDEKATAN
SOSIOLOGI SASTRA
Secara
etimologi, sosiologi berasal dari kata ‘sosio’ atau ‘society’ yang bermakna
masyarakat dan ‘logi’ atau logos yang artinya ilmu. Jadi sosiologi dalam arti
sederhana adalah ilmu tentang masyarakat atau ilmu tentang kehidupan
masyarakat. Dalam arti yang lebih luas lagi sosiologi merupakan telaah yang
objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga
dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat
dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung dan bagaimana ia tetap ada. Oleh karena
itu dalam pendekatan sosiologis biasanya yang dianalisis adalah manusia dalam
masyarakat dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat sampai kedalam manusia
sebagai individu.
Menurut
Ratna (1984:61) dasar pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki
antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksud
disebabkan oleh:
a. Karya
sastra yang dihasilkan oleh pengarang
b. Pengarang
itu sendiri adalah masyarakat
c. Pengarang
memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat
d. Hasil
karya sastra itu dimanfaatkan oleh masyarakat.
Menurut
Teeuw (1984:61) anggapan yang timbul dari pendekatan karya sastra bahwa sastra
memiliki struktur yang otonom meskipun tidak dapat dipisahkan dari latar
belakangnya, yaitu masyarakat dengan segenap budaya, tradisi, dan keberadaanya.
Pendekatan sosiologis dalam karya sastra yang memiliki struktur otonom dengan
latar belakang tradisi dan budaya dimana karya sastra merupakan cerminan dari
sosial budaya suatu masyarakat tertentu pada masa tertentu.
Sedangkan
menurut Ian Watt Sapardi (dalam Faruk 1999:4) mengemukakan tiga aspek yang
digunakan dalam pendekatan, yang pertama adalah konteks sosial pengarang. Hal
ini berhubungan dengan posisi sosial pengarang dalam masyarakat dan kaitannya
dengan masyarakat pembaca. Selain itu dalam hal ini juga diteliti bagaiman
pengarang mendapatkan mata pencaharianny, sejauh mana pengarang menganggap
pekerjaannyya sebagai suatu profesi, dan masyarakat apa yang dituju oleh
pengarang. Kedua, adalah sastra sebagai cermin masyarakat yakni sastra
mencerminkan masyarakat pada waktu sastra tersebut ditulis, sejauh mana
karakter pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikan, dan
sejauh mana genre sastra yang digunakan dapat mewakili seluruh elemen
masyarakat. Ketiga, adalah fungsi sosila sastra apakah berfungsi sebagai
penghibur saja atau sebagai perombak masyarakat, dan sejauh mana terjadi
sintesis kemungkinan antara keduanya,
Menurut
Wellek dan Warren (1956:84) , pengklasifikasian kajian sosiologi meliputi tiga
hal, pertama sosiologi pengarang yang mempermaslahkan atau membahas tentang
status sosial, idiologi, sosiologi, dan sebagainya yang menyangkut pengarang
sebagai penghasil karya sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang
mempermasalahkan unsure-unsur pembentuk suatu karya sastra itu sendiri. Hal
tersebut membahas hal yang menjadi pokok permaslahan. Ketiga, sosiologi sastra
yang mempermaslahkan pembaca dengan pengaruh sosial karya sastra.
Sosiologi
dapar digunakan untuk menghindari hakikat karya sastra yang dibahas. Niali
sosiologis dapat mengalami perubahan dalam karya sastra sesuai dengan keinginan
pengarang. Dalam pendekatan sosiologi
sastra hendaklah memperhatikan:
a.
Peralatan sastra murni
yang dipakai pengarang untuk menampilkan masa sosial dalam dunia rekaannya.
Dimana karya sastra yang dibuat oleh
pengarang merupakan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri
merupakan refleksi sosial atau kenyataan sosial
b.
Pengarang itu sendiri,
lengkap dengan kesadaran dan tujuannya. Dimana pengarang menciptakan suatu
karya sastra untuk menyampaikan pesan-pesan kepada pembacanya untuk dipahami
dan menjadi sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupannya, dan kehidupan tersebut
mencakup hubungan antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan
individu, antara individu dengan individu dan antara peristiwa dalam batin
seseorang.
Sasaran Pendekatan Sosiologi Sastra
a.
Konteks Sosial Pengarang
Konteks
sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini
termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya.
Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut.
1) Bagaimana sastrawan mendapatkan
mata pencaharian; apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat
secara langsung atau bekerja rangkap.
2) Profesionalisme dalam
kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu
profesi.
3) Masyarakat yang dituju oleh
sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat
penting sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu
menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).
b.
Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Sastra
sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra dianggap sebagai
mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan
gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalah artikan dan disalah gunakan. Dalam hubungan
ini, terutama harus mendapatkan perhatian adalah.
1) Sastra mungkin dapat dikatakan
mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat
yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia
ditulis.
2) Sifat “lain dari yang lain”
seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta
sosial dalam karyanya.
3) Genre sastra sering merupakan
sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh
masyarakat.
4) Sastra yang berusaha menampilkan
keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya
atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra
yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat
secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui
keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila
sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979: 4).
c.
Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan
sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh
nilai sastra berkait dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai
sastra dipengaruhi nilai sosial?” ada tiga hal yang harus diperhatikan.
1) Sudut pandang yang menganggap bahwa
sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini,
tercakup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan
perombak.
2) Sudut pandang lain yang
menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Dalam hal ini
gagasan-gagasan seni untuk seni misalnya, tidak ada bedanya dengan usaha untuk
melariskan dagangan agar menjadi best seller.
3) Sudut pandang kompromistis
seperti tergambar sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur (Damono, 1979:
4).
Hubungan
Sastra dengan Masyarakat
Karya
sastra tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, karena sastra itu sendiri
merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat yang dihasilkan oleh pengarang
yang merupakan bagian dari anggota masyarakat dan pembentukannya pun berdasarkan
desakan-desakan emosional atau rasional masyarakat.
Menurut
Wellek dan Warren (1990:109) hubungan antara sastra dan masyarakat sastra
adalah intuisi sosial yang menggunakan medium bahasa. Dalam hal ini sastra
menyajikan kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagian besar dari kenyataan
sosial, meskipun karya sastra itu sendiri bersifat fiksi dalam artian hanya
meniru. Hal tersebut mencerminkan bahwa karya sastra memiliki kaitan yang erat
dengan intuisi sosial yang pengungkapannya menggunakan bahasa sebagai medium
penyampaian pesan antara pengarang terhadap pembaca mengenai sebuah karya
sastra.
Menurut
Sasraswati (2003:78) dalam konsep structural karya sastra itu sendiri adalah
suatu totalitas dimana sastra merupakan produk dari dunia sosial yang senantiasa
berubah-ubah, merupakan suatu kesatuan dinamis yang bermakna dan perwujudan
nilai-nilai peristiwa.
Hubungan
Masalah Sastra dengan Sosiocultural
a. Karya
sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya, apabila dipisahkan
dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya.
b. Setiap
karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik
dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun hubungannya dengan
orang-perorang.
c. Masyrakat
dapat mendekati karya sastra dengan 2 arah:
1.Sebagai
suatu kekuatan atau faktor material istimewa
2.Sebagai
tradisi, yakni kecenderungan spiritual maupun cultural yang bersifat kolektif.
Dengan
begitu dapat disimpulakan bahwa sastra dapat mencerminkan perkembangan
sosiologis dan dapat mencerminkan perkembangan suatu masyarakat.
Fungsi
karya Sastra
1. Sebagai penghibur dan
mendidik (wellek:1976), dimana karya sastra selain bertujuan untuk menghibur
juga mendidik para pembaca agar mengetahui atau memahami perasaan yang ingin
disampaikan oleh pengarang melalui karya sastra.
2. Sebagai ungkapan
keindahan sastrawan mengenai suatu objek, dimana lewat sebuah karya sastra para
pengarangf dapat mengungkapkan dan menuangkan segala perasaan yang ingin
diungkapkan oleh pengarang lewat sebuah tulisan dalam karya sastra mengenai
sutu objek yang ingin diungkapkan noleh pengarang.
3. Sebagai sarana mencari
uang, dimana karya sastra dapat digunakan semata-mata sebagai sarana mencari
uang atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, yaitu pengarang dengan menjual
hasil karya sastra yang mereka buat kepada para pembaca.
4. Karya sastra dapat
digunakan sebagai propaganda, dengan karya sastra para pengarang dapat
menyampaikan suatu maksud atau pesan yang ditujukan kepada khlayak umum/pembaca
agar para pembaca melakukan pesan atau maksud yang ada pada karya sastra
tersebut, terlepas dari baik atau buruknya pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang.
Dari
uraian diatas dapat diketahui bahwa pemahaman hubungan masyarakat dengan sastra
tidak lepas dari pemahaman terhadap fungsi, kedudukan, dan interaksi karya
tersebut dengan unsure-unsur yakni latar belakang sosila-budaya yang
mengiringinya. Sehingga dalam mempelajari sastra juga dapat mengarah pada
mempelajari masyarakatnya menyangkut nilai-nilai yang dianut, aspirasi, tingkat
cultural, pandangan hidup.
Tujuan Pendekatan Sosiologi Sastra
Tujuannya
adalah untuk mendapatkan gambaran lengkap, utuh dan menyeluruh tentang hubungan
timbal balik antara sastrawan, karya sastra dan masyarakat. Yakni: seberapa jauhkah
nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan seberapa jauhkah nilai sosial
mempengaruhi nilai sastra.
Sinopsis
Novel Biola Tak Berdawai Karya Seno Gumira Ajidarma
Renjani
adalah seorang mantan penari balet setelah dirinya diperkosa, hamil, dan dipaksa
untuk mengaborsi kandungannya. Ia memutuskan membuang masa lalunya dan pindah
ke Yogyakarta. Di perjalanan di kereta, ia duduk bersebelahan dengan seorang
wanita yang disuruh untuk membuang bayi cacat yang kini berada dalam
gendongannya. Sesampai di Yogyakarta, ia menempati rumah Neneknya yang sangat
besar. Kemudian Renjani teringat kisah perjalanannya dan mendirikan rumah asuh
untuk anak-anak yang cacat bernama Ibu Sejati. Seorang wanita yang filosofis
terhadap sifat manusia sekaligus pintar membaca kartu tarot, Mbak Wid melamar
sebagai dokter anak disana. Mbak Widpun mempunyai masa lalu sendiri, ia adalah
anak dari seorang pelacur yang mudah hamil. Hanya Mbak Wid saja benih yang
berhasil lahir, sementara itu, seluruh benih lain diaborsikan oleh sang ibu.
Hal itu membuat Mbak Wid bertekad menjadi seorang dokter anak. Renjani kemudian
menemukan Dewa seorang anak cacat yang diberikan ke rumah itu. Dewa diasuh
Renjani hingga Renjani merasa bahwa Dewa adalah anaknya sendiri. Sampai umurnya
yang menjelang kedelapan, Dewa belum bisa merespon karena distorsi fungsi otak
dan tuna wicara yang dialaminya.
Suatu
hari, Renjani menemukan Dewa membongkar perlengkapan baletnya. Renjani
menggunakannya dan menari sambil menyetel musik klasik, saat itulah Dewa
merespon dengan mengangkat kepalanya. Renjani berpikir Dewa bisa disembuhkan
dengan terapi musik atau tarian, Renjanipun mencarikan sebuah resital musik
atau tari untuk disinggahi. Mereka menonton resital musik biola. Setelah
selesai, Dewa tidak mau pulang. Saat itulah seorang pemuda yang memainkan biola
di resital tadi, Bhisma memperkenalkan diri sambil membawa biola dan tongkat
geseknya. Dewa menggenggam tongkat itu terus. Bhisma akhirnya mengantarkan
Renjani dan Dewa hingga ke Ibu Sejati, Dewa diperbolehkan memegang tongkat itu
hingga esok. Esoknya, Bhisma dan Renjani berbicara banyak, dari situlah Renjani
tahu bahwa Bhisma juga turut perhatian dengan anak-anak yang cacat. Bhisma
menjadi dekat dengan Mbak Wid dan Renjani juga. Pada malam hari, Bhisma
mengajak Renjani untuk berkolaborasi dihadapan Dewa, Renjani akan menari
sementara Bhisma memainkan biola. Hal itu terbukti, Dewa mengangkat kepalanya
lagi. Renjani dan Bhisma berpelukan dan nyaris berciuman sebelum Renjani
menghentikannya.
Bhisma
mengurung diri di kamarnya membuat sebuah sonata yang berjudul Biola Tak
Berdawai, diciptakan untuk Dewa. Bhisma memperdengarkan lagu yang belum selesai
ia buat kepada Dewa dan Renjani lewat telepon. Pertemuan Renjani dengan Bhisma
keesokan harinya membuat satu janji, Bhisma harus menyelesaikan Biola Tak
Berdawai itu. Lalu, Bhisma mengurung diri lagi dan berkata lewat telepon bahwa
ia akan memperdengarkannya di tempat resital dimana Bisma dan Renjani bertemu.
Resitalpun berlangsung, hingga selesai, Bhisma tidak melihat Renjani maupun
Dewa. Ia pun membuang sonata yang telah terselesaikan. Bhisma menjadi murung,
lalu memutuskan untuk ke Ibu Sejati. Disana ada Mbak Wid yang menceritakan
bahwa Renjani ternyata mengidap kanker rahim yang ia dapati setelah melakukan
aborsi yang sembarangan. Renjani sendiri mengira bahwa itu adalah maag biasa. Pada
malam resital Bhisma, Dewa dan Renjani sudah rapih, tetapi Renjani tiba-tiba
ambruk dan dibawa ke rumah sakit. Ia meninggal setelah seminggu dalam keadaan
koma. Bhisma menangisi Renjani sambil memeluk Dewa yang terduduk disamping
tempat tidur. Beberapa hari kemudian, Bhisma bersama Dewa mengunjungi makam
Renjani. Bhisma kemudian mendudukkan Dewa disamping nisan, lalu Bhisma
mengambil biola dan memainkan Biola Tak Berdawai, menuntaskan janjinya kepada
Renjani.
Analisis
Novel Biola Tak Berdawai Karya Seno Gumira Ajidarma
Novel Biola Tak
Berdawai karya Seno Guira Ajidarma dipilih sebagai objek kajian dalam
penelitian ini karena beberapa hal. Pertama,
karya sastra merupakan cerminan dari apa yang ada dalam masyarakat, sehingga
munculnya sebuah karya yang diilhami oleh realita yang selalu memiliki makna
mendalam yang ingin diungkapkan oleh pengarangnya. Menurut Damono (Dalam Faruk
1999:4) sastra merupakan cerminan dari masyarakat, sastra menampilkan gambaran
kehidupan antar masyarakat dengan seseorang. Meskipun novel Biola Tak Berdawai
ini bersifat fiktif namun novel yang digarap oleh Seno Guira Ajidarma tersebut
memiliki nilai realis dalam artian yang khusus yaitu dunia fiktif yang memberi
kesan pada dunia atau merujuk pada suatu realita tertentu. Novel Biola Tak
Berdawai ini begitu cermat menghadirkan realita yang mengangkat permasalahan
dengan menonjolkan sisi budaya, moral, spiritual, dan kemanusiaan untuk
menyampaikan sebuah makna yang terkandung.
Kedua, karena novel Biola
Tak Berdawai ini popular di kalangan masyarakat. Novel ini merupakan salah satu
karya sastra popular yang banyak diminati dan menjadi konsumsi masyarakat. Slah
satu bukti dari kepopuleran novel ini adalah difilmkannya cerita ini sebelum
disusun sebagai sebuah novel dan film tersebut pernah ditayangkan hamper di
seluruh bioskop di Indonesia. Ketiga,
karena novel Biola Tak Berdawai ini dipaparkan denagn cara menunjukan
niali-nilai budaya secara terbuka dan positif. Tidak seperti novel-novel Jawa
popular lainnya yang banyak mengkritisi budaya Jawa sebagai suatu budaya yang
kuno atau klasik. Novel Biola Tak Berdawai menyuguhkan nilai-nilai budaya Jawa
dengan memaparkan segala kelebihannya.
Keempat, karena
film dari Biola Tak Berdawai ini mendapatkan sambutan baik dikancah
internasional. Film dari Biola Tak Berdawai ini telah mengikuti tiga kali
festival film yang berbeda di tiga negara yang berbeda. Prestasi yang sangat
membanggakan adalah bahwa film tersebut mendapatkan lima piala dalam festival
yang telah diikuti. Hali ini merupakan bukti bahwa cerita dari Biola Tak Berdawai
ini mendapat perhatioan yang cukup besar dari masyarakat. Alasan tersebut dia
atas mendorong peneliti untuk mengkaji novel Biola Tak Berdawai. Sehingga jelas
bahwa novel Biola Tak Berdawai ini sangat diminati oleh masyarakat.
kurang baik, perlu di tingkatkan lagi yahhhh....
BalasHapuskalau bisa di sertai gambar biar gk bosan liat tulisan mulu.
maaf, ini kan makalah yg sifatnya formal. seandainya diberi gambar justru salah gan.kecuali diagram atau model atau alur analisis. oke?
Hapusminta ijin ngopi ya,,, mkasih,,,
BalasHapusgan, kalau ditambahkan daftar pustaka gmna? buat referensi
BalasHapusbagus trimakasih buat bahan skripsi saya. lanjutkan mas karya nya saya tunggu .
BalasHapuskamu cantik, hati-hati demi masa depan kamu, jangan terlalu berpose didunia maya, terimah kasih makalahnya
BalasHapusTerimakasih atas apresiasinya. Wanita tulen kakak-kakak. semoga bermanfaat
BalasHapusthanks banget udah ngasih infox....
BalasHapusbtw kamu punya buku pendekatan sosiologi karya Dr. Faruk gak? soalnya lagi butuh banget penjelasannya, kalau bisa di share dong .....yang PDF
BalasHapusmba yang cantik, manis & imut kalo bisa sekalian dengan daftar pustakanya .....
BalasHapus