Kesadaran akan menjaga sebuah keutuhan dan kesetiaan
kepada keluarga mulai diciptakan oleh Dati dalam usahanya mencari sebuah
kedamain dalm hidup. Ia menganalisa apa yang menyebabkan dirinya dahulu
sempat berfikir untuk menghianati suaminya.
“Aku
hidup sadar dari hari ke hari dengan kebahagiaanku. Aku mempunyai anak, aku
mempunyai suami. Kedamaianku hanya selintas-selintas, jika kamu berkumpul
semua; anakku suamiku dan aku. Pekerjaan suamiku merupakan bayangan yang
menakuti perasaanku setiap saat. Juga keadaan merupakan bayangan yang
menakuti perasaanku setiap saat. Juga keadaanhati yang tidak bisa dipercaya
akhir-akhir ini semakin mencemaskan hatiku. Dan kini aku datang. Adakah ini
hanya bersebab kepadaku saja, aku sendiri?” .
Kesabaran hati Suami untuk menerima Dati kembali
membuatnya semakin merasa bersalah atas perbuatan yang ia lakukan di belakang
suaminya. Hingga ia tidak berani menatap wajah suaminya yang telah baik
padanya dan mencintainya denga sepenuh hati. Sesungguhnya kala itu Wija telah
mengetahui bahwa istrinya masih mencintai Sidik. Namun Wija berusaha diam dan
memendam rasa kecewanya sendiri. Wija sadar bahwa Dati tidak dapat membalas
ketulusan cintanya karena ia masih menyimpan rasa cinta yang besar pada
Sidik, masa lalunya. Ia tahu bahwa Dati berada pada posisi yang sulit, dan ia
memahami keadan tersebut.
“Aku
tahu kau masih mencintainya. Tapi aku juga tahu bahwa mencintai itu memang
mudah. Untuk aling mengerti itu yang sukar.”
Kudengar
suamiku berkata, suranya kaku dan terang. Aku menoleh kepadanya. Jadi dia
tahu. Dia mengerti siapa Sidik. Dia pasti juga mengerti semuanya.
“Malam
itu dalam kamarmu yang sempit kita telah berjalan jauh, menjelajahi hidup.
Itu berjalan pertama bagimu. Aku tahu. Tapi aku tidak pernah mengatakan bahwa
itu bukan malam pertama bagiku. “Ia tiba-tiba telah berdiri dekat sekali
denganku. Dan aku tidak mendengar yang lainnya selain suaranya yang bening,
tenang dan damai. Aku tidak melihat lainnya selain dia, suamiku yang telah
kembali dan mencintaiku. Aku tidak berani menatapnya. Aku tundukkan kepalaku.
Pada narasi
tersebut, Wija dan Dati berusaha untuk memperbaiki hubungannya yang telah
rengang. Malam itu mereka saling berbicara, dari hati mengungkapakan segala
rasa yang lama terpendam dalam dada. Wija telah menerima segala perbuatan
yang dilakukan data kepadanya. Wija tak menghiraukan yang terdahulu, ia
mencintai Dati kembali dengan sepenuh hatinya, memaafkan kesalahan yang
pernah diperbuat istrinya. Karena rasa bersalahnya yang teramat besar, Dati
merasa malu dan tak sanggup menatap ketulusan wajah suaminya.
Aku
tidak tahu apa yang akan diperbuatnya terhadapku, istri yang tak
mencintainnya. Tanganya berat meraba mukaku. Aku tidak mau menengadah
menentangnya.
“Kau
menangis. Mengapa?” Suaranya perlahan setengah berbisik.
Tanganya
yang tidak dibalut kini meraihku ke dadanya. Aku menolaknya. Kupandang
tenang-tenang wajahnya muram.
“Aku
berjanji akan kembali, Dati. Kini aku kembali. Kepada siapa aku harus datang?
Aku tidak memiliki siapapun selain kau dan anak-anakmu.”
Kami
berpandangan. Perkataannya amat menunjang perasaan hatiku. Kuulurkan
jari-jari tangankuke bibirnya, dan aku peluk dia. Aku peluk dia erat.
Kudapatkan kepalaku dengan terisak sebuah kekuatan yang sejuk mengait
perasaanku. Aku kemudian menyadari kedamaian dan ketenangan yang dibawanya kepadaku.
Aku
mencintainya.
Akhir cerita
ditutup dengan sebuah suasan ayang mengharukan, dimana Dati telah mampu
menghilangkan perasaan dimasalalunya dan kini ia menapaki kehidupan baru
bersama suami dan anak-anak yang dicintainnya. Wija telah berhasil membuat
Dati mencintai dirinya dengan carannya sendiri, keikhlasannya memaafkan
kesalahan Dati, penantiannya, kesabarannya menanti agar Dati dapat membalas
cintanya kini berbuah manis. Kini Dati telah menemui kebahagiaan yang
sesunguhnya dalam hidupnya, ia menemukan kedamaian hati yang selama ini ia
cari dalam keluarga kecilnya.
|
Komentar
Posting Komentar