METAFORA be a great blog
PENGGUNAAN BAHASA DALAM PROSA FIKSI
Bahasa
sebagai alat ekspresi diri akan terjadi pada diri seorang sastrawan atau biasa
disebut sebagai bahasa sastra. Bahasa sastra tidak pernah ada batasannya,
ketika seorang sastrawan menulis sebuah karya, sastrawan akan menggunakan
bahasa yang bisa diterima oleh pembaca, ini berkaitan dengan bahasa yang
digunakan oleh kalangan masyarakat atau pembaca yang dituju oleh sastrawan. Ada
kalanya sastrawan menggunakan bahasa khas daerahnya sendiri, bahasa
nasionalnya, dan juga tidak menutup kemungkinan akan mengguakan bahasa asing
yang dikuasainya, asalkan pikirannya bisa terwakili oleh bahasa tersebut.
Proses-proses seperti inilah yang disebut sebagai proses kreatif sastrawan.
A. Fungsi dan Sifat Bahasa dalam Prosa Fiksi
Bahasa
dalam sastra mengemban fungsi utama, yaitu fungsi komunikatif (Nurgiantoro,
1993: 1). Beberapa ciri bahasa sastra antara lain, bahasa sastra mungkin
dicirikan sebagai bahasa (yang mengandung unsur) emotif dan bersifat konotatif
sebagai kebalikan bahasa nonsastra, selain itu adanya unsur ‘pikiran’ juga
mewarnai bahasa sastra. Unsur pikiran dan perasaan akan sama-sama terlihat
dalam berbagai ragam penggunaan bahasa, termasuk bahasa sastra. Demikian pula
halnya dengan makna denotatif. Bahasa sastra tidak mungkin secara menyaran pada
makna konotatif saja tanpa melibatkan sama sekali makna denotatif. Penuturan
yang demikian akan tidak memberi peluang kepada pembaca untuk dapat
memahaminya. Pemahaman pembaca, bagaimanapun akan mengacu dan berangkat dari
makna denotatif atau paling tidak makna itu akan dijadikan dasar pijakan.
Sebaliknya makna konotatif pun banyak dijumpai dan dipergunakan dalam
penggunaan bahasa yang lain selain sastra, misalnya yang tidak tergolong karya
kreatif. Dengan demikian, berdasarkan pencirian ini yang ada hanyalah masalah
kadar, kadar emosi, dan makna konotasi pada bahasa sastra lebih dominan. Hal
itu disebabkan pengungkapan dalam sastra mempunyai tujuan estetik, di sampng
sering menuturkan sesuatu secara tidak langsung. Namun, tentu saja, bukan hanya
unsur emosi dan makna konotasi semata yang menjadi ciri bahasa sastra.
Bahasa
sastra, menurut kaum Formalis Rusia adalah bahasa yang mempunyai ciri
deotomatisasi, penyimpangan dari cara penuturan yang telah bersifat otomatis,
biasa, dan wajar. Penuturan dalam sastra selalu diusahakan dengan cara lain,
cara baru, cara yang belum (pernah) digunakan orang. Bahasa sastra mengutamakan
keaslian pengucapan, dan untuk memperoleh cara itu mungkin sampai pada
penggunaan berbagai bentuk penyimpangan, defiasi kebahasaan. Unsur kebaruan dan
keaslian merupakan suatu hal yang menentukan nilai sebuah karya prosa fiksi.
Kaum Formalis berpendapat adanya penyimpangan sesuatu yang wajar itu merupakan
proses sastra yang mendasar (Teeuw, 1984:131).
B. Macam
Penggunaan Bahasa dalam Prosa Fiksi
·
Ditunjau dari ragam
bahasa yang digunakan oleh sastrawan.
1. Bahasa
Pertama atau Bahasa Ibu
Setiap sastrawan pasti memiliki
latar belakang kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lain, itulah
sebabnya bahasa yang digunakan juga akan berbeda. Bahasa pertama atau bahasa
ibu adalah bahasa yang pertama kali digunakan oleh sastrawan, bahasa pertama
atau bahasa ibu juga akan berpengaruh pada karya sastra sastrawan.
Dalam kenyataannya, salah apabila bahasa
pertama atau bahasa ibu diasumsikan sebagai bahasa daerah, karena apabila
bahasa pertama seorang sastrawan adalah
bahasa Indonesia yang tatarannya masuk bahasa nasional, maka dalam konteks itu
tidak bisa dikatakan bahwa bahasa pertama atau bahasa ibu satrawan tersebut
adalah bahasa daerah, berbeda pula pengertiannya apabila seorang sastrawan
memiliki dua bahasa pertama atau dua bahasa ibu, sejak kecil ia sudah
dikenalkan dengan dua bahasa oleh orang tuannya, misalnya bahasa daerah dan
bahasa Indonesia. Sehingga, dalam kasus tersebut bisa dikatakan bahwa sastrawan
itu telah memiliki dua bahasa pertama, tetapi apabila terjadi kasus yang
seperti itu, pasti tetap ada bahasa yang lebih dominan digunakan oleh
sastrawan, jelas bahasa yang dominan adalah bahasa yang lekat dengan kebudayaan
yang ia anut.
2. Bahasa
Nasional (Bahasa Indonesia)
Bahasa nasional adalah bahasa yang
secara luas digunakan oleh penutur, karena ini adalah identitas nasional suatu
bangsa, walaupun seseoarang berasal dari daerah tertentu, ia tetap wajib belajar
dan memahami bahasa nasional. Sehingga dalam kominikasi anatar daerah, bahasa
nasional bisa dijadikan sarana yang tepat.
Begitu juga dengan seorang sastrawan
saat berkarya, ketika ia menginginkan karya sastranya bisa dibaca dan dipahami
oleh semua kalangan, maka bahasa yang digunakan dalam melahirkan sebuah karya
sastra adalah bahasa nasional. Dengan begitu semua masyarakat dari
masing-masing daerah dapat mengonsumsi karya sastranya, sastrawan selalu
menyesuaikan dengan objek yang akan disapa, tapi terkadang sastrawan
menggunakan bahasa nasional yang dibumbui dengan bahasa daerah agar pemikiran
yang akan ia kemukakan bisa sampai pada pembacanya, hal itu bisa terjadi karena
terkadang ada makna yang akan disampaikan tetapi makna itu tidak dapat diwakili
dengan menggunakan bahasa nasional, sehingga mau tidak mau bahasa daerah tetap
digunakan dalam menyampaikan pemikiran.
3. Bahasa
Asing
Berbeda lagi dengan bahasa asing,
jarang sastrawan menggunakan bahsa asing dalam melahirkan sebuah karya
sastranya, karena bahasa asing jauh dengan kehidupan lingkungan masyarakat yang
ia tempati. Namun, ada juga sastrawan yang menggunakan bahasa asing dalam
karyanya, biasanya bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda, hal itu terjadi
bisa kerena pengaruh sejarah kehidupan negara yang dalam riwayatnya pernah
dijajah oleh Belanda. Memang ini jarang ditemui, tetapi apabila ada seorang
sastrawan yang menggunakan bahasa asing atau bahasa yang dikuasainya, maka ada
nilai lebih bagi dirinya, mungkin saja dengan karyanya itu ia tidak hanya
dikenal dalam lingkup nasional saja, bisa jadi ia akan dikenal di dunia
Internasional sebagai sastrawan yang memiliki kelebihan dibanding dengan yang
lain.
Akan tetapi ada juga sastrawan yang
tidak menggunakan bahasa Asing dalam melahirkan karyanya, justru karyanya
diterjemahkan dalam bahasa lain oleh seseorang. Hal ini membuktikan bahwa
satrawan juga akan bisa selalu berkembang tanpa harus menguasai bahasa asing,
dengan menggunakan bahasa nasional saja ia mampu membawa dirinya ke ranah dunia
Internasional. Namun, pada dasarnya yang terpenting adalah tujuan sastrawan
untuk menyampaikan pikirannya kepada orang lain bisa tersampaikan dengan jalan
kreatifitas yang ia miliki, adapun mengenai bahasa dan budaya tanpa disadari
akan mengitu kreatifitas sastrawan
tersebut.
·
Ditinjau dari gaya
bahasa yang digunakan oleh sastrawan.
Contoh penggunaan gaya bahasa
seperti dalam novel yang berjudul Sukreni Gadis Bali, seperti penjelasan di
bawah ini.
1.
Hiperbola
Gaya hiperbola mengarah pada
melebih-lebihkan pada suatu pernyataan,
apabila ditinjau penggunaan gaya bahasa hiperbola
pada cerita fiksi akan menunjukan sikap melebih-lebih pada suatu peristiwa yang
ada dalam cerita fiksi tersebut. Pada novel Sukreni Gadis Bali gaya hiperbola
sering muncul, diantaranya: …Dalam waktu penghujan jalan desa itu
berlumpur-lumpur, kadang-kadang air hujan bagai
bendungan di sebelah-menyebelah atau di tengah jalan…(SGB, hlm. 1)
…Apalagi
I Gusti Made Tusan, menteri polisi, seakan-akan
ia ada di surga melihat
melihat bidadari melayang-layang, dan gadis itu pun seorang daripada
bidadari itu. (SGB, hlm. 41). Pada dua penggalan
novel Sukreni Gadis Bali di atas terdapat kata-kata yang digarisbawahi,
kata-kata tersebut adalah kata-kata yang menunjukkan gaya hiperbola. Pada
penggalan kedua juga menunjukan bahwa pada zaman dahulu laki-laki warga Ksatria
di Bali tidak tahan terhadap godaan wanita, sehingga merika kebanyakan memiliki
istri lebih dari satu.
2.
Metonimia
Gaya metonimia adalah gaya bahasa
yang mengungkapkan penggunaan sebutan untuk sesuatu dengan ciri khasnya. Pada
novel Sukreni Gadis Bali pengungkapan seperti itu banyak muncul, seperti dalam
menyebut matahari warga Bali akan menyatakan dengan kata Sang Hyang Surya, saat memenggil bapak dengan sebutan Pan dan ibu dengan sebutan Men, juga sebutan untuk rumah bagi
setiap kasta akan berbeda, geria
untuk warga brahmana, puri untuk
warga ksatria dan waisa, dan umah
untuk warga sudra.
3. Sarkasme
Sarkasme adalah suatu peryataan yang
bersifat mengungkapkan sindiran langsung dan kasar, gaya bahasa ini akan
menimbulkan rasa sakit hati pada orang yang dituju.
I
Made Aseman, mata-mata yang cerdik itu, tak tertahan marah hatinya kepada kaum
setan itu. Terasa olehya lahir batin ia tidak kuasa melawan Men Negara Jahanam
itu. Bilakah datang gerubug akan
memusnahkan kaum keluarga mereka itu?
C. Cara Penggunaan bahasa dalam Prosa Fiksi
Bahasa
pada hakikatnya merupakan teknik pemilihan pengungkapan kebahasaan yang dirasa
dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri, dipihak lain
juga merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu dapat dilihat pada bentuk
ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam sebuah karya. Sebagai pembuat
fiksi, pengarang berarti bekerja dengan sarana bahasa. Dalam konteks yang lebih
umum, yang pertama berhubungan dengan masalah bagaimana cara (seseorang)
mengatakan sesuatu. Sebuah fiksi hadir
dihadapan pembaca, untuk menawarkan sebuah dunia, namun hal itu dapat dicapai
lewat sarana bahasa.
Komentar
Posting Komentar