METAFORA be a great blog
SUDUT
PANDANG
1.
Pengertian
Sudut Pandang
“Sudut pandang ialah kedudukan atau posisi pengarang dalam
cerita tersebut” (Suroto, 1989:96). Artinya, sudut pandang tersebut
digunakan pengarang untuk menyampaikan cerita melalui tokoh dalam karya
sastranya. Posisi pengarang tidak hanya sebagai sudut pandang orang pertama,
tetapi juga bisa sebagai tokoh bawahan dan juga pengarang hanya menjadi
pengamat yang berada di luar cerita.
“Point of
view atau sudut pandang pengarang adalah sudut dari mana pengarang
bercerita, apakah dia bertindak sebagai pencerita yang tahu segala-galanya,
ataukah ia sebagai orang yang terbatas sebagai pencerita yang tahu
segala-galanya seakan-akan ia mahatahu” (Aminuddin, 1987:183). Artinya,
pengarang bertindak sebagai pencerita dimana dia benar-benar memahami cerita,
dan pengarang sebagai orang yang mengetahui segala-galanya dimana dia
seakan-akan mengetahui segalanya.
Dapat
disimpulkan bahwa sudut pandang merupakan hubungan antara pengarang dengan
imajinasi ceritanya. Selain itu, sudut pandang juga merupakan hubungan antara
pengarang dengan pikiran dan perasaan para pembacanya. Seorang pengarang harus
mampu menempatkan diri sebagai pencerita yang baik sehingga pembaca dapat memahami
cerita tersebut.
2.
Pemilihan Sudut
Pandang dan Efeknya
Suroto (1989:96—99)
menyatakan bahwa, penempatan diri pengarang dalam suatu cerita dapat
bermacam-macam, yaitu sebagai berikut.
a)
Pengarang
menempatkan diri sebagai tokoh utama.
Artinya, pengarang menuturkan cerita mengenai dirinya sendiri. Biasanya kata
yang digunakan adalah “aku” atau “saya”.
Contoh:
ANTARA KEPERCAYAAN
(Ramadhan
K.H.)
Dengan begitu aku
jadi orang Islam. Seorang yang mendapatkan pendidikan Islam. Belajar ngaji dan
sembahyang secara Islam. Dan dalam keadaan demikian aku tumbuh jadi besar.
Mulanya aku tidak
pikirkan segala ini. Tapi dengan tambahnya hari, tambah pula percakapan
orang-orang yang kudengar. Dan ooo . . . percakapan orang-orang! Tak ada lebih
berbahaya daripada itu, aku kira . . .
(dikutip dari Cerita
Pendek Indonesia, Gramedia)
b)
Pengarang
menempatkan diri sebagai tokoh bawahan.
Artinya, pengarang ikut melibatkan diri dalam cerita yang telah diangkatnya (tokoh
sampingan), akan tetapi ia mengangkat tokoh utama. Kata yang sering digunakan
adalah “aku”. Kata “aku” tersebut menceritakan tokoh utama.
Contoh:
TUAN MILOSZEWSKI
(Aoh
K. Hadomadja)
Aneh para penderita di sekitar saya.
Di sebelah saya, seorang pemuda ganteng dengan baju rumah yang paling bagus:
sutra ungu, berlapis satin merah. Dan dia sama sekali tidak kelihatan sakit.
Pagi-pagi dengan langkah yang panjang-panjang sudah dibantunya para juru rawat
dengan membagi-bagikan teh. Malah dia suka melompat-lompat di bangsal yang
panjang itu. Karena dia begitu pemalu dan masuk rumah sakit sesudah saya, saya
ajak dia cakap. Ternyata orang yang lembut dan bersopan santun. Terus terang
saya katakan padanya, saya tidak mengerti dia dikirim dokter ke hospital,
disebabkan yang dirawat di bangsal itu penderita-penderita yang parah dan cuma
beberapa orang saja yang enteng penyakitnya. Katanya, “Saya suka bermimpi
siang.”
“Maksud saudara, kalu sedang tidur
siang?”
“Saya tidak pernah tidur siang. Saya
bermimpi bila sedang bekerja; sering juga, sedang ngobrol, malah mengendarakan
mobil.”
“Dan pekerjaan Saudara . . . ?”
“Mengubur mayat.”. . .
(dikutip dari: Cerita Pendek Indonesia, Gramedia)
c)
Pengarang
hanya sebagai pengamat yang berada di luar cerita.
Artinya, pengarang menceritakan orang lain dalam segala hal. Gerak batin dan
lahirnya serba diketahuinya. Oleh sebab itu, pengarang dikatakan sebagai
pengamat yang serba tahu. Kata yang sering digunakan adalah kata “ia” atau
“dia”.
Contoh:
ASRAN
(Trisno
Sumardjo)
Asran seorang pelukis muda, mengejar
sesuatu dengan gigih di samping keseniannya. Ibunya sudah tua. Sebelum ibunya
meninggal, Asran memberi tugas utama pada pada diri – sendiri untuk
berusahaagar orang tua itu bisa naik haji. Inilah yang membuat pikirannya padat
untuk mencari duit dalam keadaan yang bagai-manapun.
Tapi barang siapa ketemu dia, tak
akan timbul pikiran bahwa berhadapan dengan seseorang yang mengejar uang dengan
segala upayanya, atau akan ditemuinya orang yang gagal semata-mata. Sebab Asran
selalu nampak berpakaian kumal, hampir compang camping. Agaknya ia hanya punya
satu stel atau kadang-kadang dua. Yang jelas nampak ialah bahwa pakaiannya
jarang sekali dicuci. Hanya matanya yang bersinaran keras atau air mukanya yang
tetap berseri itu memberi kesan yang berlainan . . .
(dikutip dari: Cerita Pendek Indonesia, Gramedia)
Menurut Tarigan (1984:138—139), jenis-jenis sudut pandang adalah
sebagai berikut.
a)
Tokoh utama
merupakan tokoh yang dapat menceritakan ceritanya sendiri. Dalam hal ini tokoh
pusatnya identik dengan pusat narasi.
b)
Cerita dapat
disalurkan melalui seorang peninjau yang merupakan partisipan dalam cerita
tersebut.
c)
Pengarang
cerita hanya sebagai peninjau saja.
d)
Cerita dapat
dituturkan oleh pengarang sebagai orang ketiga.
Saat pencerita menempatkan diri sebagi tokoh utama, maka dia dapat
secara langsung dan dengan bebas dapat menyatakan sikap, pikiran, dan
perasaannya sendiri kepada pembaca. Akan tetapi saat penceritaan hanya menjadi
tokoh bawahan dan menceritakan tokoh lain, pencerita tidak dapat menduga secara
mendalam sikap dan pikiran tokoh. Pencerita harus membatasi penceritaan dengan
cara memandang segala sesuatu dari satu sudut. Saat posisi pencerita berada di luar
cerita, maka pencerita seakan-akan tahu segalanya dan pencerita dapat mengamati
segala sesuatu yang terjadi dan bahkan dapat menembus pikiran dan perasaan para
tokoh. Dengan sudut pandang ini pencerita dapat berkomentar dan memberikan
penilaian subjektif terhadap kisah yang diceritakannya. Selain itu, pencerita
juga dapat menggunakan sudut pandang yang terbatas pencerita tetap berada di
luar cerita dan pencerita hanya sekedar memaparkan apa yang dilihat dan
didengar tentang tingkah laku dan dialog tokoh dalam cerita.
Jika yang digunakan merupakan sudut pandang terbatas informasi
diberikan kepada pembaca melalui pengiriman surat, percakapan telepon dan
penggunaan dialog antara protagonis dengan tokoh-tokoh lain. Pemilihan sudut
pandang pencerita ditentukan dengan menyesuaikan efek yang hendak ditimbulkan
pada diri pembaca.
Menurut Tarigan (dalam Tarigan, 1985:140), pembagian point of view dalam fiksi
adalah sebagi berikut.
a)
The First
Person Narrator. Cerita itu
dapat diceritakan oleh salah satu tokoh dalam cerita itu. Pencerita dapat pula
salah satu dari tokoh-tokoh utama atau orang lain. Pencerita tentu saja tidak
dapat meresapi pikiran dan perasaan orang lain atau pelaku lain dalam cerita
itu.
b)
The Omniscient
View. Seorang narator luaran dapat diberi kekuasaan untuk mermahamkan dan mencerminkan pikiran
dan perasaan tokoh utama. Dalam hal ini pencerita sebagai orang ketiga.
c)
The Objective
Point of View. Seorang
pencerita yang berada diluar cerita melaporkan semua yang dilakukan dan
diucapkan oleh para pelaku, dan sama sekali tidak mencerminkan apa yang mereka
pikirkan atau rasakan. Pencerita memberi kebebasan penuh kepada para pembaca
untuk merasakan dan memikirkan semua yang dirasakan atau dipikirkan oleh para
pelaku. Pengevaluasian diserahkan sepenuhnya pada pembaca.
3.
Sudut Pandang
dan Fokus Pengisahan
Sudut pandang
digunakan untuk menyatakan gagasan atau sikap batin pengarang yang dituangkan
di dalam karya sastra. Juadi, sudut pandang berkaitan dengan pengarang yang
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya, keadaan sosialnya, dan moral
masyarakat selama karya sastra tersebut diciptakan.
Brooks (dalam
Sudjiman, 1991:77), menyatakan bahwa ada empat
perwujudan fokus pengisahan, antara lain sebagai berikut.
a)
Tokoh utama
menyampaikan kisah diri. Artinya kisah tokoh utama dengan sorotan pada tokoh
utama.
b)
Tokoh bawahan
menyampaikan kisah tentang tokoh utama. Artinya kisah tokoh bawahan dengan
sorotan pada tokoh utama.
c)
Pengarang
pengamata (observer-author) menyampaikan kisah. Artinya sorotan utama
terdapat pada tokoh utama.
DAFTAR
RUJUKAN
Amminuddin.
1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Dunia.
Sudjiman,
Panuti. 1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suroto.
1989. Apresiasi Sastra Indonesia. Ulfah(Ed). Jakarta: Erlangga.
Tarigan,
Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Komentar
Posting Komentar