Langsung ke konten utama

Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi Indonesia Modern

METAFORA be a great blog

Rangkuman Materi:
Apresiasi Prosa Fiksi Indonesia Modern
I. Pengarang APFI
A. Latar Belakang Sosial Budaya
           Sastra terjadi dalam konteksosial (sebagai bagian dari kebudayaan). Sebagai makhluk sosial, penggarang dipengaruhi oleh latar belakang sosiologi berupa struktur social dan proses-proses sosial, temasuk perubahan-perubahan sosial. Siswanto (2008: 3) menyatakan bahwastruktur social adalah keseluruhan jalinan antar unsur-unsur yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial, dan lapisan sosial. Asal social sastrawan merujuk pada lingkungan tempat tinggal dan segala macam hal yang terdapat di dalamnya. Sastrawan dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat, oleh karena itu latar belakang kehidupan sastrawan berpenggaruh terhadap hasil karyasastra yang diciptakan (Wellek dan Warren, 1997: 120).
B. Proses Kreatif
           Wellek dan Warren (1997: 97) menyatakan bahwa proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Kegiatan pengarang dalam proses kreatif untuk menciptakan suatu karya yang baik ternyata beragam.
C. Aliran Sastra
Dalam dunia kesusatraan ada banyak gerakan dan aliran yang berkembang di dalamnya.  Pada dasarnya aliran satra dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
(1)   Aliran impresionisme
Aliran yang berdasarkan pada impresi atau kesan sepintas suatu objek yang pernah diamati oleh pengarang. Aliran impresionisme dibagi menjadi:
(a)    Aliran realisme adalah aliran yang melukiskan sesuatu berdasarkan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan tanpa dipengaruhi oleh pendapat seorang pengarang.
(b)   Aliran naturalisme adalah aliran yang melukiskan keadaan masyarakat yang jelek dan bobrok.
(c)    Aliran neonaturalisme adalah aliran yang melukiskan kehidupan secara objektif, baik dari segi positif maupun segi negatif.
(2)   Aliran ekspresionisme
Aliran ini menonjol ke “aku” an pengarang. Karya pengarang tersebut merupakan pencetus atau pengahayatan jiwa pengarang secara sepontan. Aliran ini dapat dibagi menjadi:
(a)    Aliran romantik adalah aliran yang mengutamakan aspek-aspek perasaan.
(b)   Aliran idelisme adalah aliran yang mengutamakan ide-ide atau cita-cita pengarang.
(c)    Aliran psikologisme adalah aliran yang mengutamakan gerak-gerik kejiwaan manusia dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
(d)   Aliran mistisisme adalah aliran yang melukiskan pengalaman pengarang yang bersifat ketuhanan.
(e)    Aliran surealisme adalah aliran yang melukiskan kenyataan hidup yang berlebihan.
Aliran simbolisme adalah aliran yang menyatakan hidup secara tidak terus terang dan menggunakan simbol-simbol.
II. Pemahaman Unsur Pembangun Prosa Fiksi
A. Pengertian Prosa Fiksi
Prosa fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita (Aminuddin, 2011:66). Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan.

B.  Roman, Novel, dan Cerpen
1. Roman dan Novel
Roman seringkali dikatakan sebagai cerpen atau cerita panjang dan dibedakan dengan cermen (cerita menengah) untuk novel dan cerpen atau (cerita pendek)  short story. Dalam roman, seorang pengarang bercerita tentang bagian hidup manusia yang lebih luas dan banyak. Yang dikisahkan dalam roman adalah sebagian dari kisah hidup manusia. Saat ini istilah roman sudah tidak populer dan tidak lazim digunakan lagi dan digantikan dalam pengertian novel yang mewakili roman dan novel panjang. Roman diklasifikasikan menjadi:
a. Roman sosial :  mengandung makna yang lebih banyak. Roman adat dan roman sosiologi dapat di klasifikasikan kedalam roman sosial.
b. Roman sosiologis atau kemasyarakatan :  banyak dijumpai pada angkatan pujangga baru, angkatan 45 dan sesudahnya.
c. Roman psikologis :  menitik beratkan pergolakkan pemikiran dan pergolakkan psikis tokoh-tokohnya.
d. Roman detektif :  membicarakan tanda bukti baik berupa manusia atau benda untuk membongkar suatu kejahatan.
e. Roman sejarah: berhubungan dengan fakta, peristiwa, dan tokoh sejarah.
Sering dengan perkembangan sastra, Roman yang berasal dari Belanda berganti istilah menjadi novel yang berasal dari bahasa Latin novellus yang kemudian diturunkan menjadi novies yang berarti baru. Novel memiliki dua pengertian, yakni pengertian yang sama dengan roman (jadi menggantikan istilah roman) dan pengertian yang biasa digunakan untuk klasifikasi cerita menengah (cermen). Karena istilah roman sudah dijelaskan, maka pengertian novel di sini berarti cerita menengah.

2. Cerita Pendek (Cerpen)
Jenis kesusastraan yang paling populer dan paling banyak dibaca orang dengan pemahaman yang memadai saat ini adalah cerita pendek. Cerita pendek relatif mudah dipahami dan lebih mudah memasyarakat, jumlah baris pendek dan dapat dibaca dalam “a single sitting”. Cerita pendek  terjadi pemusatan perhatian pada satu tokoh saja, yang ditetapkan pada situasi sehari-hari tetapi posisinya sangat menentukan. Cerita pendek menggunakan bahasa yang sederhana, tetapi bersifat sugestif. Cerita pendek memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.  Singkat, padu dan intensif (brevity, unity, and intensity)
2.  Memiliki unsur utama berupa adegan, tokoh dan gerak (scene, character, and action)
3.  Bahasanya tajam, sugestif dan menarik perhatian (incisive, suggestive, dan alert)
4.  Mengandung impresi pengarang tentang konsepsi kehidupan
5.  Menimbulkan efek tunggal dalam pemikiran pembaca
6.  Mengandung detil dan inseden yang benar-benar terpilih
7.  Memiliki pelaku utama yang menonjol dalam cerita
8.  Menyajikan kebulatan efek dan kesatuan emosi.

C. Penokohan dan Perwatakan
1. Pengertian Penokohan dan Perwatakan
Salah satu unsur penting dalam sebuah prosa fiksi adalah penokohan. Tokoh sebagai sesuatu yang diceritakan serta sebagai sesuatu yang dikenai sebuah peristiwa. Sedangkan penokohan lebih kepada karakter tokoh (sifat tokoh). Penokohan dan karakterisasi sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan. Jadi, penokohan dan perwatakan menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk kepada  kualitas pribadi seorang tokoh.
2. Jenis  Tokoh
1)   Berdasark fungsi: Tokoh utama dan tokoh tambahan
Tokoh utama dalam sebuah prosa fiksi paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan merupakan tokoh yang tidak begitu dipentingkan tapi kehadirannya diperlukan sebagai objek interaksi tokoh utama.
2)   Berdasarkan adanya Konflik: Tokoh protagonis dan tokoh antagonis
Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca. Tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik disebut tokoh antagonis. Dapat dikatakan, tokoh antagonis bertentangan dengan tokoh protagonis baik secara fisik ataupun batin.
3)   Berdasarkan perkembangan watak: Tokoh sederhana dan tokoh berkembang
Nurgiyantoro (2005:181) menyatakan bahwa tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Watak tokoh dalam sebuah fiksi tidak diungkapkan secara mendalam. Tokoh berkembang berbeda dengan tokoh sederhana. Sisi kehidupan tokoh berkembang diungkapkan secara menyeluruh baik sisi kepribadian maupun jati dirinya.
4)   Berdasarkan cara menampilkan tokoh: Tokoh Statis dan tokoh bulat
Tokoh statis dan tokoh bulat dapat diidentifikasi melalui berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh dalam sebuah prosa. Tokoh statis dalam sebuah cerita tidak mengalami perubahan watak mulai dari awal hingga akhir cerita. Sebaliknya, tokoh bulat mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan seiiring dengan perkembangan peristiwa dan plot dalam prosa.
5)   Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit menampilkan keadaan individualitasnya dan lebih ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya atau hal lain yang bersifat mewakili namun penggambarannya tidak bersifat langsung melainkan pembacalah yang menafsirkannya. Sedangkan tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Tokoh netral dihadirkan dalam suatu cerita sebagai pelaku cerita ataupun tokoh yang diceritakan. 
3. Hubungan Penokohan dengan Unsur Cerita yang Lain
Penokohan merupakan unsur cerita yang tidak dapat dilepaskan dari unsur cerita yang lain. Sebuah prosa fiksi yang berhasil, penokohan pasti terjalin secara harmonis dan saling melengkapi dengan berbagai unsur yang lain, misalnya dengan unsur plot dan tema. Penokohan dan pemplotan merupakan dua fakta cerita yang saling mempengaruhi dan menggantungkan antara satu dengan yang lain. Plot merupakan sesuatu yang dilakukan dan menimpa tokoh.
            Tema merupakan dasar cerita, gagasan sentral, atau makna cerita. Sebagai unsur utama fiksi, penokohan erat berhubungan dengan tema, karena tokoh-tokoh cerita bertindak sebagai pelaku yang menyampaikan tema baik secara terselubung maupun terang-terangan.
4. Fungsi Penokohan dan Perwatakan
Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan ada
nya penokohan dan perwatakan dalam sebuah cerita kita bisa menentukan tema sebuah cerita.
D. Pelataran dalam Prosa Fiksi
1. Definisi Latar
           Setting merupakan pelengkap dari sebuah cerita atau karya sastra. Setting menjelaskan tentang tempat atau suasana yang terjadi didalam cerita atau karya sastra tesebut. Biasanya, setting harus ada dalam cerita karena sebuah cerita harus jelas dimana tempat kejadiannya, kapan terjadinya dan bagaimana suasana pada saat cerita berlangsung. Setting biasanya ada tiga kategori, yakni latar tempat, latar waktu, dan latar suasana (sosial). Pemberian latar yang jelas bisa mempermudah pembaca untuk memahami cerita tersebut dan buat bahan pertimbangan sebagai kelemahan atau kelebihan suatu cerita atau karya fiksi.
2. Macam-macam Latar
1.      Latar fisik/material (tempat, waktu, alam di sekitar)
  1. Latar tempat menyangkut deskripsi tempat suatu peristiwa cerita terjadi.
  2. Latar waktu mengacu pada saat terjadinya peristiwa, dalam plot, secara historis.
2.      Latar sosial (keadaan masyarakat, kebiasaan masyarakat yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu, pandangan hidup, sikap hidup, adat istiadat)
3.      Latar suasana
Latar suasana menyangkut deskripsi suasana dalam cerita prosa fiksi.

3. Fungsi Latar
            Latar yang baik dapat mendeskripsikan secara jelas peristiwa-peristiwa, perwatakan tokoh, dan konflik yang dihadapi tokoh cerita sehingga cerita tersebut terasa sungguh-sungguh terjadi seperti di dalam kehidupan nyata.
Ada beberapa fungsi yang dapat ditempati oleh latar dalam fiksi, misalnya latar sebagai metafora, latar sebagai atmosfer dan latar sebagai pengedapanan (foregrounding).
1)      Latar sebagai Metafora
Fungsi latar sebagai metafora adalah fungsi eksternal yang tidak secara langsung (eksplisit) berpengaruh pada cerita.
2)      Latar sebgai Atmosfer
Latar sebagai atmosfer yaitu latar yang secara langsung menyihir pembaca membawanya kepada suasana tertentu, seperti suasana sedih, marah, muram, seram, dan sebagainya.
3)      Latar sebagai Pengedepanan (foregrounding)
Pengedepanan elemen latar dalam fiksi dapat berupa penonjolan waktu dan dapat pula berupa penonjolan tempat saja

4. Hubungan Latar dengan Unsur Cerita yang lain
Penekanan unsur-unsur latar bermaksud memperjelas suatu cerita baik itu dari gaya bahasa, karakter tokoh, geografis, sosial budaya, dan sebagainya. Sehingga membuat pembaca mejadi lebih memahami bahan bacaannya.
Latar sangat erat kaitannya dengan unsur fiksi yang lain dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar dalam banyak hal akan mempengaruhi sifat-sifat tokoh. Bahkan bisa dikatakan bahwa sifat seseorang dibentuk oleh latarnya. Suatu contoh bisa kita lihat pada perbedaan sosial budaya, pola pikir, tingakah laku dan yang lainya pada setiap tokoh.
E. Pengaluran dalam Prosa Fiksi
1. Pengertian Pengaluran atau Plot
Pengaluran atau plot adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga, menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 2004:83). Pengaluran atau plot adalah kerangka atau struktur cerita yang merupakan jalin-menjalinnya cerita dari awal hingga akhir. Sudjiman (1992:11) juga mengatakan bahwa pengaluran adalah pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita.

2. Macam Pengaluran atau Plot
Menurut Sayuti (2000:56—60), jenis plot dibedakan menjadi empat, yaitu ditinjau dari segi penyusunan peristiwa atau bagian-bagian yang membentuknya, ditinjau dari segi akhir cerita, ditinjau dari segi kualitasnya, dan ditinjau dari segi kualitasnya.
2.1 Ditinjau dari Segi Penyusunan Peristiwa atau Bagian-Bagian yang Membentuknya
a. Plot Kronologis atau Progresif
Dalam plot kronologis, awal cerita benar-benar merupakan “awal”,  tengah cerita benar-benar merupakan “tengah”, dan akhir cerita benar-benar merupakan “akhir”.
b. Regresif atau Flash back atau back-tracking atau sorot balik
Dalam plot regresif, awal cerita bisa saja merupakan “akhir”, tengah dapat merupakan “akhir” dan akhir dapat merupakan awal atau tengah.
Dalam hubungannya dengan jenis plot, perlu dikemukakan bahwa sangat jarang dijumpai adanya suatu cerita yang benar-benar mempergunakan plot yang murni kronologis atau murni regresif. Dalam kenyataannya baik kronologis maupun regresif sering divariasikan dalam sebuah cerita.
2.2 Ditinjau dari Segi Akhir Cerita
a. Plot Tertutup
Dalam plot tertutup, kesimpulan yang diambil pembaca terhadap cerita yang dihadapinya harus mengikuti isyarat-isyarat yang juga telah disampaikan pengarang dalam tubuh cerita itu.
b. Plot terbuka
      Dalam plot terbuka, cerita sering dan biasanya berakhir pada klimaks, dan pembaca dibiarkan untuk menentukan sesuatu yang (diduga dan mungkin) akan menjadi penyelesaian cerita: akhir cerita dibiarkan menggantung. Pembaca lebih memiliki kebabasan dalam menentukan kesimpulan cerita, yang seringkali banyak bergantung pada kapasitas, pengetahuan, dan sikap serta minat pembaca dalam memahami cerita. 

2.2 Ditinjau dari Segi Kuantitasnya
a. Plot Tunggal
      Suatu cerita dikatakan berplot tunggal jika cerita tersebut hanya memiliki atau mengandung sebuah plot dan plot itu bersifat primer (utama). Plot tunggal biasanya terdapat pada cerpen.
b. Plot Jamak
      Suatu cerita dikatakan berplot jamak apabila cerita itu memiliki lebih dari satu plot dan plot utamanya juga lebih dari satu.

2.3 Ditinjau dari Segi Kualitasnya
a. Plot rapat
      Sebuah cerita dinyatakan berplot rapat apabila plot utama cerita itu tidak memiliki cela yang memungkinkan untuk disisipi plot lain.
b. Plot longgar
      Sebuah cerita dinyatakan berplot longgar apabila plot ia memiliki kemungkinan adanya penyisipan plot lain.
3. Tahapan Pengaluran atau Plot
            Alur cerita terdiri atas tiga bagian, yakni (1) alur awal, (2) alur tengah, dan (3) alur akhir. Alur awal terdiri atas paparan (eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action). Alur tengah cerita terdiri atas pertikaian (konfik), perumitan (complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (klimaks), sedangkan akhir alur cerita terdiri atah peleraian (falling action) dan penyelesaian (denoument). Jika alur cerita itu digambarkan maka menghasilkan gambar sebagai berikut.




 













3.1 Alur Awal
a. Paparan (Eksposisi)
Eksposisi adalah paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh. Sejak eksposisi ini pengarang sudah menunjukkan apakah ia menulis cerpen, novel, atau roman. Jika pengarang menulis cerpen maka eksposisi berjalan singkat seperlunya saja, mungkin tidak lebih dari satu/dua alinea. Dalam novel dan roman eksposisi dapat lebih rinci.
b. Rangsangan (inciting moment)
Rangsangan adalah peristiwa adanya problem-problem yang mulai ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. Contoh tersebut dapat dilihat pada novel Sitti Nurbaya. Setelah pembaca diperkenalkan dengan Sitti Nurbaya beserta keluarganya, kemudian muncul problem, yakni kedua insan yang bercinta itu akan berpisah karena Samsulbahri beserta keluarganya akan pindah dan Samsulbahri akan bersekolah di Jakarta.
c. Penggawatan (ricing action)
Penggawatan adalah cerita (problem) mulai meningkat. Pada novel Sitti Nurbaya problem perpisahan Sitti Nurbaya dengan Samsulbahri membawa problem berikutnya, yaitu datangnya Datuk Maringgih, lelaki tua yang dengan sengaja menjatuhkan orangtua Sitti Nurbayya untuk kemudian menguasai segala-galanya.
3.2 Alur Tengah
a. Pertikaian (conflict)
Ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama (pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dsb). Pada novel Sitti Nurbaya, pertikaian ditunjukkan saat Datuk Maringgih mulai merasa iri (konflik batin) terhadap kekayaan Baginda Suleman aya).
b. Perumitan (complication)
Konflik semakin rumit (Datuk Maringgih berhasil menguasai harta benda Baginda Suleman, bahkan kemudian dapat berhasil kawin dengan Sitti Nurbaya. Cerita seolah-olah menjadi ruwet karena Sitti Nurbaya dan Samsulbahri tidak bisa bersatu, tetapi keduanya masih saling mencintai.
c. Klimaks/puncak penggawatan (climax)
Klimaks cerita harus merupakan puncak dari seluruh cerita itu dan semua kisah/peristiwa yang sebelumnya ditahan dapat ditonjolkan saat klimaks cerita tersebut. Contoh : Datuk Maringgih meracuni Sitti Nurbaya sampai meninggal. Kemudian Datuk Maringgih  dan Samsulbahri saling membunuh.

3.3 Alur Akhir
a. Peleraian (falling action)
Peleraian adalah konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaknya. Emosi yang memuncak telah berkurang. Contoh : perkelahian antara Datuk Maringgih dengan Samsulbahri mengakibatkan keduanya meninggal dunia.
b. Penyelesaian (denoument)
Penyelesaian dapat dipaparkan oleh pengarang atau dapat juga dipaparkan oleh kita (karena pembaca diharapkan mampu menafsirkan sendiri penyelesaian cerita. Contoh: Samsulbahri dan Sitti Nurbaya tidak bisa menyatukan cinta mereka berdua. Mereka berdua dimakamkan di pemakaman yang sama.


4. Hubungan Alur dengan Unsur yang Lain
Dalam cerita rekaan, unsur-unsur cerita tidak dapat dipisahkan. Begitu pula alur yang tidak dapat dipisahkan dengan unsur cerita yang lain. Hal itu karena di dalam perkembangan cerita selalu ada interaksi antar unsur-unsurnya. Dalam pembahasan ini alur berhubungan dengan tokoh, watak, latar, dan sebagainya. Hubungan alur dengan tokoh, misalnya tokoh hadir sebagai subjek (pemeran) yang mengikuti arus alur sebuah cerita. Begitu pula hubungan  alur dengan watak, watak tokoh juga menentukan bagaimana alur sebuah cerita itu berjalan. Apabila watak tokoh cenderung baik, maka alur yang berjalan akan memperhatikan aspek-aspek yang cenderung melekat pada watak tokoh cerita. Latar juga behubungan dengan alur dalam sebuah cerita rekaan. Jika alur maju, maka latar menyesuaikan dengan kondisi alur pada saat itu. Jika alur flashback  (maju-mundur), maka latar juga menyesuaikan dengan kondisi alur pada saat itu. Dengan demikian, alur berkaitan erat atau tidak dapat berdiri sendiri dengan unsur-unsur cerita yang lain.

F. Sudut Pandang dalam Prosa Fiksi
(1) Pengertian Sudut Pandang
“Sudut pandang ialah kedudukan atau posisi pengarang dalam cerita tersebut” (Suroto, 1989:96). Artinya, sudut pandang tersebut digunakan pengarang untuk menyampaikan cerita melalui tokoh dalam karya sastranya. Posisi pengarang tidak hanya sebagai sudut pandang orang pertama, tetapi juga bisa sebagai tokoh bawahan dan juga pengarang hanya menjadi pengamat yang berada di luar cerita.
Point of view atau sudut pandang pengarang adalah sudut dari mana pengarang bercerita, apakah dia bertindak sebagai pencerita yang tahu segala-galanya, ataukah ia sebagai orang yang terbatas sebagai pencerita yang tahu segala-galanya seakan-akan ia mahatahu” (Aminuddin, 1987:183). Artinya, pengarang bertindak sebagai pencerita dimana dia benar-benar memahami cerita, dan pengarang sebagai orang yang mengetahui segala-galanya dimana dia seakan-akan mengetahui segalanya.
Dapat disimpulkan bahwa sudut pandang merupakan hubungan antara pengarang dengan imajinasi ceritanya. Selain itu, sudut pandang juga merupakan hubungan antara pengarang dengan pikiran dan perasaan para pembacanya.
(2) Pemilihan Sudut Pandang dan Efeknya
Suroto (1989:96—99) menyatakan bahwa, penempatan diri pengarang dalam suatu cerita dapat bermacam-macam, yaitu sebagai berikut.
a)      Pengarang menempatkan diri sebagai tokoh utama. Artinya, pengarang menuturkan cerita mengenai dirinya sendiri. Biasanya kata yang digunakan adalah “aku” atau “saya”.
b)      Pengarang menempatkan diri sebagai tokoh bawahan. Artinya, pengarang ikut melibatkan diri dalam cerita yang telah diangkatnya (tokoh sampingan), akan tetapi ia mengangkat tokoh utama. Kata yang sering digunakan adalah “aku”. Kata “aku” tersebut menceritakan tokoh utama.
c)      Pengarang hanya sebagai pengamat yang berada di luar cerita. Artinya, pengarang menceritakan orang lain dalam segala hal. Gerak batin dan lahirnya serba diketahuinya. Oleh sebab itu, pengarang dikatakan sebagai pengamat yang serba tahu. Kata yang sering digunakan adalah kata “ia” atau “dia”.
Pemilihan sudut pandang pencerita ditentukan dengan menyesuaikan efek yang hendak ditimbulkan pada diri pembaca.
Menurut Tarigan (dalam Tarigan, 1985:140),  pembagian point of view dalam fiksi adalah sebagi berikut.
a)      The First Person Narrator. Cerita itu dapat diceritakan oleh salah satu tokoh dalam cerita itu. Pencerita dapat pula salah satu dari tokoh-tokoh utama atau orang lain. Pencerita tentu saja tidak dapat meresapi pikiran dan perasaan orang lain atau pelaku lain dalam cerita itu.
b)      The Omniscient View. Seorang narator luaran dapat diberi kekuasaan   untuk mermahamkan dan mencerminkan pikiran dan perasaan tokoh utama. Dalam hal ini pencerita sebagai orang ketiga.
c)      The Objective Point of View. Seorang pencerita yang berada diluar cerita melaporkan semua yang dilakukan dan diucapkan oleh para pelaku, dan sama sekali tidak mencerminkan apa yang mereka pikirkan atau rasakan. Pencerita memberi kebebasan penuh kepada para pembaca untuk merasakan dan memikirkan semua yang dirasakan atau dipikirkan oleh para pelaku. Pengevaluasian diserahkan sepenuhnya pada pembaca.

(3) Sudut Pandang dan Fokus Pengisahan
Sudut pandang digunakan untuk menyatakan gagasan atau sikap batin pengarang yang dituangkan di dalam karya sastra. Juadi, sudut pandang berkaitan dengan pengarang yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya, keadaan sosialnya, dan moral masyarakat selama karya sastra tersebut diciptakan.
Brooks (dalam Sudjiman, 1991:77), menyatakan bahwa ada empat perwujudan fokus pengisahan, antara lain sebagai berikut.
a)      Tokoh utama menyampaikan kisah diri. Artinya kisah tokoh utama dengan sorotan pada tokoh utama.
b)      Tokoh bawahan menyampaikan kisah tentang tokoh utama. Artinya kisah tokoh bawahan dengan sorotan pada tokoh utama.
c)      Pengarang pengamata (observer-author) menyampaikan kisah. Artinya sorotan utama terdapat pada tokoh utama.

G. Penggunaan Bahasa dalam Prosa Fiksi
1.  Fungsi dan Sifat Bahasa dalam Prosa Fiksi
           Bahasa dalam sastra mengemban fungsi utama, yaitu fungsi komunikatif (Nurgiantoro, 1993: 1). Beberapa ciri bahasa sastra antara lain, bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai bahasa (yang mengandung unsur) emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, selain itu adanya unsur ‘pikiran’ juga mewarnai bahasa sastra. Unsur pikiran dan perasaan akan sama-sama terlihat dalam berbagai ragam penggunaan bahasa, termasuk bahasa sastra. Demikian pula halnya dengan makna denotatif. Bahasa sastra tidak mungkin secara menyaran pada makna konotatif saja tanpa melibatkan sama sekali makna denotatif. Penuturan yang demikian akan tidak memberi peluang kepada pembaca untuk dapat memahaminya. Pemahaman pembaca, bagaimanapun akan mengacu dan berangkat dari makna denotatif atau paling tidak makna itu akan dijadikan dasar pijakan. Sebaliknya makna konotatif pun banyak dijumpai dan dipergunakan dalam penggunaan bahasa yang lain selain sastra, misalnya yang tidak tergolong karya kreatif.
 2. Macam Penggunaan Bahasa dalam Prosa Fiksi
·         Ditunjau dari ragam bahasa yang digunakan oleh sastrawan.
1.      Bahasa Pertama atau Bahasa Ibu
            Setiap sastrawan pasti memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lain, itulah sebabnya bahasa yang digunakan juga akan berbeda. Bahasa pertama atau bahasa ibu adalah bahasa yang pertama kali digunakan oleh sastrawan, bahasa pertama atau bahasa ibu juga akan berpengaruh pada karya sastra sastrawan.
2.   Bahasa Nasional (Bahasa Indonesia)
            Bahasa nasional adalah bahasa yang secara luas digunakan oleh penutur, karena ini adalah identitas nasional suatu bangsa, walaupun seseoarang berasal dari daerah tertentu, ia tetap wajib belajar dan memahami bahasa nasional. Sehingga dalam kominikasi anatar daerah, bahasa nasional bisa dijadikan sarana yang tepat.
            Begitu juga dengan seorang sastrawan saat berkarya, ketika ia menginginkan karya sastranya bisa dibaca dan dipahami oleh semua kalangan, maka bahasa yang digunakan dalam melahirkan sebuah karya sastra adalah bahasa nasional.
3.   Bahasa Asing
            Berbeda lagi dengan bahasa asing, jarang sastrawan menggunakan bahsa asing dalam melahirkan sebuah karya sastranya, karena bahasa asing jauh dengan kehidupan lingkungan masyarakat yang ia tempati. Namun, ada juga sastrawan yang menggunakan bahasa asing dalam karyanya, biasanya bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda, hal itu terjadi bisa kerena pengaruh sejarah kehidupan negara yang dalam riwayatnya pernah dijajah oleh Belanda.         
          
·         Ditinjau dari gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan.
1.      Hiperbola
           Gaya hiperbola mengarah pada melebih-lebihkan pada suatu pernyataan, apabila ditinjau penggunaan gaya bahasa hiperbola pada cerita fiksi akan menunjukan sikap melebih-lebih pada suatu peristiwa yang ada dalam cerita fiksi tersebut. 
2.      Metonimia
           Gaya metonimia adalah gaya bahasa yang mengungkapkan penggunaan sebutan untuk sesuatu dengan ciri khasnya.
3.      Sarkasme
            Sarkasme adalah suatu peryataan yang bersifat mengungkapkan sindiran langsung dan kasar, gaya bahasa ini akan menimbulkan rasa sakit hati pada orang yang dituju.
 3. Cara Penggunaan bahasa dalam Prosa Fiksi
            Bahasa pada hakikatnya merupakan teknik pemilihan pengungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri, dipihak lain juga merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu dapat dilihat pada bentuk ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam sebuah karya. Sebagai pembuat fiksi, pengarang berarti bekerja dengan sarana bahasa. Dalam konteks yang lebih umum, yang pertama berhubungan dengan masalah bagaimana cara (seseorang) mengatakan sesuatu. Sebuah fiksi hadir dihadapan pembaca, untuk menawarkan sebuah dunia, namun hal itu dapat dicapai lewat sarana bahasa.





  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Puisi “Nasehat-Nasehat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa”

METAFORA be a great blog 1. Analisis Puisi “Nasehat-Nasehat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa” Nasehat-Nasehat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa Oleh: Taufik Ismail Jika adalah yang harus kaulakukan Ialah menyampaikan kebenaran Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan Ialah yang bernama keyakinan Jika adalah yang harus kau tumbangkan Ialah segala pohon-pohon kezaliman Jika adalah orang yang harus kauagungkan Ialah hanya Rasul Tuhan Jika adalah kesempatan memilih mati Ialah syahid di jalan Ilahi April, 1965 Hasil analisis:             Ketika seseorang anak mulai menginjak usia kedewasaan, tentunya ia memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap dirinya dan keluarganya. Ketika anak mulai beranjak dewasa, saat ia mampu bekerja sendiri mencari uang untuk memenuhi kebutuhannya, tanggung jawab orang tua kepada anaknya itu perlahan akan bebalik menjadi tanggung jawab seorang anak untuk orang tuannya. Oleh karena itu, pada puisi “ Nase

MACAM GAMES UNTUK ICE BREAKING

METAFORA be a great blog PANDUAN  WICARA KELOMPOK 09 PERMAINAN (GAMES) Di dalam materi wicara kelompok 09 ini berisikan teori tenang games yang meliputi Unjuk Kebolehan  ( Yel-Yel ), Akting Beregu ( Team Acting ), Sebut Nama Panggilan ( Say The Nickname ), Perang  Fantastik  ( Fantastic War ), Apa Selanjutnya? (What’s Next?); Mari Kita Bercerita! ( Let’s Tell A Story !), Resep Gotong Royong ( What’s in The Soup? ), Ceritakan Gambar  ( Telling The Picture), Bisik Berantai ( The Grape Vive ), Kontes Ucapan ( Pronounciation Contest ), Dua Puluh Pertanyaan ( Twenty Question ), Teka-Teki ( Guessing ), dan Tebak Gerak-Gerik ( Guess The Gestures ) TUJUAN PEMBELAJARAN             Setelah menerima sajian tentang pokok bahasan wawancara ini diharapkan mahasiswa dapat: (2) menunjujkkan contoh-contoh permainan (games) dalam kegiatan wicara kelompok; dan (1) melakukan simulasi permainan (games) dalam kegiatan wicara kelompok sesuai denganj aturan main yang telah ditentukan. K

KRITIK SASTRA CERPEN ANAK KEBANGGAN

Nama          : Enif Nurul Khoirubianti NIM/OFF   : 110211413115/BB WUJUD KECINTAAN SEORANG AYAH YANG DISALAH GUNAKAN OLEH ANAK YANG DIBANGGAKANNYA Judul Cerpen             : Anak Kebanggaan Halaman                       : 15-26 Penulis                         : A.A. Navis Penerbit                      : Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit            : Cetakan ke-16, 2010 1. Sinopsis cerpen “Anak Kebanggan” karya A. A. Navis             Ompi adalah seorang duda yang ditinggal mati oleh istrinnya, selain itu Ompi juga seorang yang kaya raya. Setelah kepergian istrinnya, Ompi hanya tinggal dengan anak semata wayangnnya yaitu, Indra Budiman. Ompi berangan-angan anaknya menjadi seorang dokter. Akhirnnya, Indra Budiman pergi ke Jakarta untuk melanjutkan studi SMA disana. Semenjak itu, Ompi yakin anaknya akan menjad