METAFORA be a great blog
Rangkuman
Materi:
Apresiasi Prosa Fiksi
Indonesia Modern
I. Pengarang
APFI
A. Latar
Belakang Sosial Budaya
Sastra terjadi dalam konteksosial (sebagai bagian dari
kebudayaan). Sebagai makhluk sosial, penggarang dipengaruhi oleh latar belakang
sosiologi berupa struktur social dan proses-proses sosial, temasuk
perubahan-perubahan sosial. Siswanto (2008: 3) menyatakan bahwastruktur social
adalah keseluruhan jalinan antar unsur-unsur yang pokok, yaitu kaidah-kaidah
sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial,
dan lapisan sosial. Asal social sastrawan merujuk pada lingkungan tempat
tinggal dan segala macam hal yang terdapat di dalamnya. Sastrawan dipengaruhi
dan mempengaruhi masyarakat, oleh karena itu latar belakang kehidupan sastrawan
berpenggaruh terhadap hasil karyasastra yang diciptakan (Wellek dan Warren,
1997: 120).
B. Proses
Kreatif
Wellek dan Warren (1997: 97) menyatakan bahwa proses
kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang
melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan
pengarang. Kegiatan pengarang dalam proses kreatif untuk menciptakan suatu
karya yang baik ternyata beragam.
C. Aliran Sastra
Dalam
dunia kesusatraan ada banyak gerakan dan aliran yang berkembang di dalamnya. Pada dasarnya aliran satra dapat dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu:
(1)
Aliran impresionisme
Aliran
yang berdasarkan pada impresi atau kesan sepintas suatu objek yang pernah
diamati oleh pengarang. Aliran impresionisme dibagi menjadi:
(a)
Aliran realisme adalah aliran yang
melukiskan sesuatu berdasarkan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan tanpa
dipengaruhi oleh pendapat seorang pengarang.
(b)
Aliran naturalisme adalah aliran yang
melukiskan keadaan masyarakat yang jelek dan bobrok.
(c)
Aliran neonaturalisme adalah aliran yang
melukiskan kehidupan secara objektif, baik dari segi positif maupun segi
negatif.
(2) Aliran ekspresionisme
Aliran
ini menonjol ke “aku” an pengarang. Karya pengarang tersebut merupakan pencetus
atau pengahayatan jiwa pengarang secara sepontan. Aliran ini dapat dibagi
menjadi:
(a)
Aliran romantik adalah aliran yang
mengutamakan aspek-aspek perasaan.
(b)
Aliran idelisme adalah aliran yang
mengutamakan ide-ide atau cita-cita pengarang.
(c)
Aliran psikologisme adalah aliran yang
mengutamakan gerak-gerik kejiwaan manusia dalam menghadapi kehidupan
sehari-hari.
(d)
Aliran mistisisme adalah aliran yang
melukiskan pengalaman pengarang yang bersifat ketuhanan.
(e)
Aliran surealisme adalah aliran yang
melukiskan kenyataan hidup yang berlebihan.
Aliran simbolisme adalah aliran yang menyatakan
hidup secara tidak terus terang dan menggunakan simbol-simbol.
II. Pemahaman
Unsur Pembangun Prosa Fiksi
A. Pengertian
Prosa Fiksi
Prosa fiksi
adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan
pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari
hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita (Aminuddin,
2011:66). Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Istilah fiksi
dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan.
B. Roman, Novel, dan Cerpen
1.
Roman dan Novel
Roman seringkali
dikatakan sebagai cerpen atau cerita panjang dan dibedakan dengan cermen
(cerita menengah) untuk novel dan cerpen atau (cerita pendek) short
story. Dalam roman, seorang pengarang bercerita tentang bagian hidup
manusia yang lebih luas dan banyak. Yang dikisahkan dalam roman adalah sebagian
dari kisah hidup manusia. Saat ini istilah roman sudah tidak populer dan tidak
lazim digunakan lagi dan digantikan dalam pengertian novel yang mewakili roman
dan novel panjang. Roman diklasifikasikan menjadi:
a. Roman sosial : mengandung makna yang lebih banyak. Roman
adat dan roman sosiologi dapat di klasifikasikan kedalam roman sosial.
b. Roman sosiologis atau kemasyarakatan
: banyak dijumpai pada angkatan pujangga
baru, angkatan 45 dan sesudahnya.
c. Roman psikologis : menitik beratkan pergolakkan pemikiran dan
pergolakkan psikis tokoh-tokohnya.
d. Roman detektif : membicarakan tanda bukti baik berupa manusia
atau benda untuk membongkar suatu kejahatan.
e. Roman sejarah: berhubungan
dengan fakta, peristiwa, dan tokoh sejarah.
Sering dengan
perkembangan sastra, Roman yang berasal dari Belanda berganti istilah menjadi
novel yang berasal dari bahasa Latin novellus yang kemudian diturunkan menjadi
novies yang berarti baru. Novel memiliki dua pengertian, yakni pengertian yang
sama dengan roman (jadi menggantikan istilah roman) dan pengertian yang biasa
digunakan untuk klasifikasi cerita menengah (cermen). Karena istilah roman
sudah dijelaskan, maka pengertian novel di sini berarti cerita menengah.
2. Cerita Pendek (Cerpen)
Jenis
kesusastraan yang paling populer dan paling banyak dibaca orang dengan
pemahaman yang memadai saat ini adalah cerita pendek. Cerita pendek relatif
mudah dipahami dan lebih mudah memasyarakat, jumlah baris pendek dan dapat
dibaca dalam “a single sitting”.
Cerita pendek terjadi pemusatan
perhatian pada satu tokoh saja, yang ditetapkan pada situasi sehari-hari tetapi
posisinya sangat menentukan. Cerita pendek menggunakan bahasa yang sederhana,
tetapi bersifat sugestif. Cerita pendek memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Singkat,
padu dan intensif (brevity, unity, and intensity)
2. Memiliki
unsur utama berupa adegan, tokoh dan gerak (scene, character, and action)
3. Bahasanya
tajam, sugestif dan menarik perhatian (incisive, suggestive, dan alert)
4. Mengandung
impresi pengarang tentang konsepsi kehidupan
5. Menimbulkan
efek tunggal dalam pemikiran pembaca
6. Mengandung
detil dan inseden yang benar-benar terpilih
7. Memiliki
pelaku utama yang menonjol dalam cerita
8. Menyajikan
kebulatan efek dan kesatuan emosi.
C. Penokohan dan
Perwatakan
1. Pengertian Penokohan
dan Perwatakan
Salah satu unsur
penting dalam sebuah prosa fiksi adalah penokohan. Tokoh sebagai sesuatu yang
diceritakan serta sebagai sesuatu yang dikenai sebuah peristiwa. Sedangkan
penokohan lebih kepada karakter tokoh (sifat tokoh). Penokohan dan karakterisasi
sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan. Jadi, penokohan dan
perwatakan menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan
oleh pembaca, lebih menunjuk kepada kualitas
pribadi seorang tokoh.
2.
Jenis Tokoh
1) Berdasark
fungsi: Tokoh utama dan tokoh tambahan
Tokoh utama dalam sebuah prosa fiksi
paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai
kejadian. Tokoh tambahan merupakan tokoh yang tidak begitu dipentingkan tapi
kehadirannya diperlukan sebagai objek interaksi tokoh utama.
2) Berdasarkan
adanya Konflik: Tokoh protagonis dan tokoh antagonis
Tokoh
protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan
pembaca. Tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik disebut tokoh antagonis.
Dapat dikatakan, tokoh antagonis bertentangan dengan tokoh protagonis baik
secara fisik ataupun batin.
3) Berdasarkan
perkembangan watak: Tokoh sederhana dan tokoh berkembang
Nurgiyantoro (2005:181) menyatakan bahwa
tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang memiliki satu
kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Watak tokoh
dalam sebuah fiksi tidak diungkapkan secara mendalam. Tokoh berkembang berbeda
dengan tokoh sederhana. Sisi kehidupan tokoh berkembang diungkapkan secara
menyeluruh baik sisi kepribadian maupun jati dirinya.
4) Berdasarkan
cara menampilkan tokoh: Tokoh Statis dan tokoh bulat
Tokoh statis dan tokoh bulat dapat
diidentifikasi melalui berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh dalam sebuah
prosa. Tokoh statis dalam sebuah cerita tidak mengalami perubahan watak mulai
dari awal hingga akhir cerita. Sebaliknya, tokoh bulat mengalami perubahan dan
perkembangan perwatakan seiiring dengan perkembangan peristiwa dan plot dalam
prosa.
5) Tokoh
Tipikal dan Tokoh Netral
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya
sedikit menampilkan keadaan individualitasnya dan lebih ditonjolkan kualitas
pekerjaan atau kebangsaannya atau hal lain yang bersifat mewakili namun
penggambarannya tidak bersifat langsung melainkan pembacalah yang
menafsirkannya. Sedangkan tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi
demi cerita itu sendiri. Tokoh netral dihadirkan dalam suatu cerita sebagai
pelaku cerita ataupun tokoh yang diceritakan.
3. Hubungan
Penokohan dengan Unsur Cerita yang Lain
Penokohan
merupakan unsur cerita yang tidak dapat dilepaskan dari unsur cerita yang lain.
Sebuah prosa fiksi yang berhasil, penokohan pasti terjalin secara harmonis dan
saling melengkapi dengan berbagai unsur yang lain, misalnya dengan unsur plot
dan tema. Penokohan dan pemplotan merupakan dua fakta cerita yang saling
mempengaruhi dan menggantungkan antara satu dengan yang lain. Plot merupakan
sesuatu yang dilakukan dan menimpa tokoh.
Tema
merupakan dasar cerita, gagasan sentral, atau makna cerita. Sebagai unsur utama
fiksi, penokohan erat berhubungan dengan tema, karena tokoh-tokoh cerita
bertindak sebagai pelaku yang menyampaikan tema baik secara terselubung maupun
terang-terangan.
4.
Fungsi Penokohan dan Perwatakan
Tokoh cerita
menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral,
atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan ada
nya penokohan dan perwatakan dalam
sebuah cerita kita bisa menentukan tema sebuah cerita.
D. Pelataran
dalam Prosa Fiksi
1. Definisi Latar
Setting merupakan pelengkap dari sebuah cerita
atau karya sastra. Setting menjelaskan tentang tempat atau suasana yang terjadi
didalam cerita atau karya sastra tesebut. Biasanya, setting harus ada dalam
cerita karena sebuah cerita harus jelas dimana tempat kejadiannya, kapan
terjadinya dan bagaimana suasana pada saat cerita berlangsung. Setting biasanya
ada tiga kategori, yakni latar tempat, latar waktu, dan latar suasana (sosial).
Pemberian latar yang jelas bisa
mempermudah pembaca untuk memahami cerita tersebut dan buat bahan pertimbangan
sebagai kelemahan atau kelebihan suatu cerita atau karya fiksi.
2. Macam-macam Latar
1. Latar fisik/material (tempat, waktu, alam di
sekitar)
- Latar tempat menyangkut deskripsi tempat
suatu peristiwa cerita terjadi.
- Latar waktu mengacu pada saat terjadinya
peristiwa, dalam plot, secara historis.
2. Latar sosial (keadaan masyarakat, kebiasaan
masyarakat yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu, pandangan hidup,
sikap hidup, adat istiadat)
3. Latar suasana
Latar
suasana menyangkut deskripsi suasana dalam cerita prosa fiksi.
3. Fungsi Latar
Latar yang baik dapat
mendeskripsikan secara jelas peristiwa-peristiwa, perwatakan tokoh, dan konflik
yang dihadapi tokoh cerita sehingga cerita tersebut terasa sungguh-sungguh terjadi
seperti di dalam kehidupan nyata.
Ada beberapa fungsi yang dapat ditempati oleh latar dalam fiksi,
misalnya latar sebagai metafora, latar sebagai atmosfer dan latar sebagai
pengedapanan (foregrounding).
1) Latar sebagai Metafora
Fungsi
latar sebagai metafora adalah fungsi eksternal yang tidak secara langsung
(eksplisit) berpengaruh pada cerita.
2) Latar sebgai Atmosfer
Latar sebagai atmosfer yaitu latar yang secara
langsung menyihir pembaca membawanya kepada suasana tertentu, seperti suasana
sedih, marah, muram, seram, dan sebagainya.
3) Latar sebagai Pengedepanan (foregrounding)
Pengedepanan elemen latar dalam fiksi dapat
berupa penonjolan waktu dan dapat pula berupa penonjolan tempat saja
4. Hubungan
Latar dengan Unsur Cerita yang lain
Penekanan unsur-unsur latar bermaksud
memperjelas suatu cerita baik itu dari gaya bahasa, karakter tokoh, geografis,
sosial budaya, dan sebagainya. Sehingga membuat pembaca mejadi lebih memahami
bahan bacaannya.
Latar sangat erat kaitannya dengan unsur
fiksi yang lain dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar dalam banyak hal
akan mempengaruhi sifat-sifat tokoh. Bahkan bisa dikatakan bahwa sifat
seseorang dibentuk oleh latarnya. Suatu contoh bisa kita lihat pada perbedaan
sosial budaya, pola pikir, tingakah laku dan yang lainya pada setiap tokoh.
E. Pengaluran dalam Prosa Fiksi
1.
Pengertian Pengaluran atau Plot
Pengaluran atau
plot adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga, menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu
cerita (Aminuddin, 2004:83). Pengaluran atau plot adalah kerangka atau struktur
cerita yang merupakan jalin-menjalinnya cerita dari awal hingga akhir. Sudjiman
(1992:11) juga mengatakan bahwa pengaluran adalah pengaturan urutan peristiwa pembentuk
cerita.
2. Macam Pengaluran atau Plot
Menurut Sayuti (2000:56—60), jenis plot dibedakan
menjadi empat, yaitu ditinjau dari segi penyusunan peristiwa atau bagian-bagian
yang membentuknya, ditinjau dari segi akhir cerita,
ditinjau dari segi kualitasnya, dan ditinjau dari segi kualitasnya.
2.1 Ditinjau dari Segi
Penyusunan Peristiwa atau Bagian-Bagian yang Membentuknya
a. Plot Kronologis atau
Progresif
Dalam
plot kronologis, awal cerita benar-benar merupakan “awal”, tengah cerita benar-benar merupakan “tengah”,
dan akhir cerita benar-benar merupakan “akhir”.
b. Regresif atau Flash
back atau back-tracking atau sorot balik
Dalam
plot regresif, awal cerita bisa saja merupakan “akhir”, tengah dapat merupakan
“akhir” dan akhir dapat merupakan awal atau tengah.
Dalam
hubungannya dengan jenis plot, perlu dikemukakan bahwa sangat jarang dijumpai
adanya suatu cerita yang benar-benar mempergunakan plot yang murni kronologis
atau murni regresif. Dalam kenyataannya baik kronologis maupun regresif sering divariasikan
dalam sebuah cerita.
2.2
Ditinjau dari Segi Akhir Cerita
a. Plot Tertutup
Dalam
plot tertutup, kesimpulan yang diambil pembaca terhadap cerita yang dihadapinya
harus mengikuti isyarat-isyarat yang juga telah disampaikan pengarang dalam
tubuh cerita itu.
b. Plot terbuka
Dalam plot terbuka, cerita sering dan biasanya berakhir pada
klimaks, dan pembaca dibiarkan untuk menentukan sesuatu yang (diduga dan
mungkin) akan menjadi penyelesaian cerita: akhir cerita dibiarkan menggantung.
Pembaca lebih memiliki kebabasan dalam menentukan kesimpulan cerita, yang
seringkali banyak bergantung pada kapasitas, pengetahuan, dan sikap serta minat
pembaca dalam memahami cerita.
2.2
Ditinjau dari Segi Kuantitasnya
a. Plot Tunggal
Suatu cerita dikatakan berplot tunggal jika cerita tersebut
hanya memiliki atau mengandung sebuah plot dan plot itu bersifat primer
(utama). Plot tunggal biasanya terdapat pada cerpen.
b. Plot Jamak
Suatu cerita dikatakan berplot jamak apabila cerita itu
memiliki lebih dari satu plot dan plot utamanya juga lebih dari satu.
2.3
Ditinjau dari Segi Kualitasnya
a. Plot rapat
Sebuah cerita dinyatakan berplot rapat apabila plot utama
cerita itu tidak memiliki cela yang memungkinkan untuk disisipi plot lain.
b. Plot longgar
Sebuah cerita dinyatakan berplot longgar apabila plot ia
memiliki kemungkinan adanya penyisipan plot lain.
3. Tahapan Pengaluran atau Plot
Alur
cerita terdiri atas tiga bagian, yakni (1) alur awal, (2) alur tengah, dan (3)
alur akhir. Alur awal terdiri atas paparan (eksposisi), rangsangan (inciting
moment), dan penggawatan (rising action). Alur tengah cerita terdiri
atas pertikaian (konfik), perumitan (complication), dan klimaks atau
puncak penggawatan (klimaks), sedangkan akhir alur cerita terdiri atah
peleraian (falling action) dan penyelesaian (denoument). Jika
alur cerita itu digambarkan maka menghasilkan gambar sebagai berikut.
![]() |
3.1
Alur Awal
a.
Paparan (Eksposisi)
Eksposisi
adalah paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian,
waktu, topik, dan tokoh-tokoh. Sejak eksposisi ini pengarang sudah menunjukkan
apakah ia menulis cerpen, novel, atau roman. Jika pengarang menulis cerpen maka
eksposisi berjalan singkat seperlunya saja, mungkin tidak lebih dari satu/dua
alinea. Dalam novel dan roman eksposisi dapat lebih rinci.
b. Rangsangan (inciting
moment)
Rangsangan
adalah peristiwa adanya problem-problem yang mulai ditampilkan oleh pengarang
untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. Contoh tersebut dapat dilihat
pada novel Sitti Nurbaya. Setelah pembaca diperkenalkan dengan Sitti Nurbaya
beserta keluarganya, kemudian muncul problem, yakni kedua insan yang bercinta itu
akan berpisah karena Samsulbahri beserta keluarganya akan pindah dan
Samsulbahri akan bersekolah di Jakarta.
c. Penggawatan (ricing
action)
Penggawatan
adalah cerita (problem) mulai meningkat. Pada novel Sitti Nurbaya
problem perpisahan Sitti Nurbaya dengan Samsulbahri membawa problem berikutnya,
yaitu datangnya Datuk Maringgih, lelaki tua yang dengan sengaja menjatuhkan
orangtua Sitti Nurbayya untuk kemudian menguasai segala-galanya.
3.2
Alur Tengah
a. Pertikaian (conflict)
Ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama
(pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh,
pertentangan antara dua tokoh, dsb). Pada novel Sitti Nurbaya, pertikaian
ditunjukkan saat Datuk Maringgih mulai merasa iri (konflik batin) terhadap
kekayaan Baginda Suleman aya).
b. Perumitan (complication)
Konflik
semakin rumit (Datuk Maringgih berhasil menguasai harta benda Baginda Suleman,
bahkan kemudian dapat berhasil kawin dengan Sitti Nurbaya. Cerita seolah-olah
menjadi ruwet karena Sitti Nurbaya dan Samsulbahri tidak bisa bersatu, tetapi
keduanya masih saling mencintai.
c. Klimaks/puncak
penggawatan (climax)
Klimaks
cerita harus merupakan puncak dari seluruh cerita itu dan semua kisah/peristiwa
yang sebelumnya ditahan dapat ditonjolkan saat klimaks cerita tersebut. Contoh
: Datuk Maringgih meracuni Sitti Nurbaya sampai meninggal. Kemudian Datuk
Maringgih dan Samsulbahri saling
membunuh.
3.3
Alur Akhir
a. Peleraian (falling
action)
Peleraian
adalah konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai
klimaknya. Emosi yang memuncak telah berkurang. Contoh : perkelahian antara
Datuk Maringgih dengan Samsulbahri mengakibatkan keduanya meninggal dunia.
b. Penyelesaian (denoument)
Penyelesaian
dapat dipaparkan oleh pengarang atau dapat juga dipaparkan oleh kita (karena
pembaca diharapkan mampu menafsirkan sendiri penyelesaian cerita. Contoh:
Samsulbahri dan Sitti Nurbaya tidak bisa menyatukan cinta mereka berdua. Mereka
berdua dimakamkan di pemakaman yang sama.
4. Hubungan Alur dengan Unsur yang Lain
Dalam cerita
rekaan, unsur-unsur cerita tidak dapat dipisahkan. Begitu pula alur yang tidak
dapat dipisahkan dengan unsur cerita yang lain. Hal itu karena di dalam
perkembangan cerita selalu ada interaksi antar unsur-unsurnya. Dalam pembahasan
ini alur berhubungan dengan tokoh, watak, latar, dan sebagainya. Hubungan alur
dengan tokoh, misalnya tokoh hadir sebagai subjek (pemeran) yang mengikuti arus
alur sebuah cerita. Begitu pula hubungan
alur dengan watak, watak tokoh juga menentukan bagaimana alur sebuah
cerita itu berjalan. Apabila watak tokoh cenderung baik, maka alur yang
berjalan akan memperhatikan aspek-aspek yang cenderung melekat pada watak tokoh
cerita. Latar juga behubungan dengan alur dalam sebuah cerita rekaan. Jika alur
maju, maka latar menyesuaikan dengan kondisi alur pada saat itu. Jika alur flashback
(maju-mundur), maka latar juga
menyesuaikan dengan kondisi alur pada saat itu. Dengan demikian, alur berkaitan
erat atau tidak dapat berdiri sendiri dengan unsur-unsur cerita yang lain.
F. Sudut Pandang
dalam Prosa Fiksi
(1) Pengertian Sudut Pandang
“Sudut pandang ialah kedudukan atau
posisi pengarang dalam cerita tersebut” (Suroto, 1989:96). Artinya, sudut
pandang tersebut digunakan pengarang untuk menyampaikan cerita melalui tokoh
dalam karya sastranya. Posisi pengarang tidak hanya sebagai sudut pandang orang
pertama, tetapi juga bisa sebagai tokoh bawahan dan juga pengarang hanya
menjadi pengamat yang berada di luar cerita.
“Point of view atau sudut pandang
pengarang adalah sudut dari mana pengarang bercerita, apakah dia bertindak
sebagai pencerita yang tahu segala-galanya, ataukah ia sebagai orang yang
terbatas sebagai pencerita yang tahu segala-galanya seakan-akan ia mahatahu”
(Aminuddin, 1987:183). Artinya, pengarang bertindak sebagai pencerita dimana
dia benar-benar memahami cerita, dan pengarang sebagai orang yang mengetahui
segala-galanya dimana dia seakan-akan mengetahui segalanya.
Dapat disimpulkan bahwa sudut pandang
merupakan hubungan antara pengarang dengan imajinasi ceritanya. Selain itu,
sudut pandang juga merupakan hubungan antara pengarang dengan pikiran dan
perasaan para pembacanya.
(2)
Pemilihan Sudut Pandang dan Efeknya
Suroto (1989:96—99) menyatakan bahwa,
penempatan diri pengarang dalam suatu cerita dapat bermacam-macam, yaitu
sebagai berikut.
a) Pengarang menempatkan diri sebagai tokoh utama.
Artinya, pengarang menuturkan cerita mengenai dirinya sendiri. Biasanya kata
yang digunakan adalah “aku” atau “saya”.
b) Pengarang menempatkan diri sebagai tokoh bawahan.
Artinya, pengarang ikut melibatkan diri dalam cerita yang telah diangkatnya (tokoh
sampingan), akan tetapi ia mengangkat tokoh utama. Kata yang sering digunakan
adalah “aku”. Kata “aku” tersebut menceritakan tokoh utama.
c) Pengarang hanya sebagai pengamat yang berada di luar cerita.
Artinya, pengarang menceritakan orang lain dalam segala hal. Gerak batin dan
lahirnya serba diketahuinya. Oleh sebab itu, pengarang dikatakan sebagai
pengamat yang serba tahu. Kata yang sering digunakan adalah kata “ia” atau
“dia”.
Pemilihan sudut pandang
pencerita ditentukan dengan menyesuaikan efek yang hendak ditimbulkan pada diri
pembaca.
Menurut Tarigan
(dalam Tarigan, 1985:140), pembagian point
of view dalam fiksi adalah sebagi berikut.
a) The
First Person Narrator. Cerita itu dapat
diceritakan oleh salah satu tokoh dalam cerita itu. Pencerita dapat pula salah
satu dari tokoh-tokoh utama atau orang lain. Pencerita tentu saja tidak dapat
meresapi pikiran dan perasaan orang lain atau pelaku lain dalam cerita itu.
b) The
Omniscient View. Seorang narator luaran dapat
diberi kekuasaan untuk mermahamkan dan
mencerminkan pikiran dan perasaan tokoh utama. Dalam hal ini pencerita sebagai
orang ketiga.
c) The
Objective Point of View. Seorang pencerita yang
berada diluar cerita melaporkan semua yang dilakukan dan diucapkan oleh para
pelaku, dan sama sekali tidak mencerminkan apa yang mereka pikirkan atau
rasakan. Pencerita memberi kebebasan penuh kepada para pembaca untuk merasakan
dan memikirkan semua yang dirasakan atau dipikirkan oleh para pelaku.
Pengevaluasian diserahkan sepenuhnya pada pembaca.
(3)
Sudut Pandang dan Fokus Pengisahan
Sudut pandang digunakan untuk menyatakan
gagasan atau sikap batin pengarang yang dituangkan di dalam karya sastra.
Juadi, sudut pandang berkaitan dengan pengarang yang dipengaruhi oleh latar
belakang pendidikannya, keadaan sosialnya, dan moral masyarakat selama karya
sastra tersebut diciptakan.
Brooks (dalam Sudjiman, 1991:77), menyatakan bahwa ada empat perwujudan fokus pengisahan,
antara lain sebagai berikut.
a) Tokoh
utama menyampaikan kisah diri. Artinya kisah tokoh utama dengan sorotan pada
tokoh utama.
b) Tokoh
bawahan menyampaikan kisah tentang tokoh utama. Artinya kisah tokoh bawahan
dengan sorotan pada tokoh utama.
c) Pengarang
pengamata (observer-author) menyampaikan kisah. Artinya sorotan utama
terdapat pada tokoh utama.
G. Penggunaan
Bahasa dalam Prosa Fiksi
1. Fungsi dan Sifat Bahasa dalam Prosa Fiksi
Bahasa
dalam sastra mengemban fungsi utama, yaitu fungsi komunikatif (Nurgiantoro,
1993: 1). Beberapa ciri bahasa sastra antara lain, bahasa sastra mungkin
dicirikan sebagai bahasa (yang mengandung unsur) emotif dan bersifat konotatif
sebagai kebalikan bahasa nonsastra, selain itu adanya unsur ‘pikiran’ juga
mewarnai bahasa sastra. Unsur pikiran dan perasaan akan sama-sama terlihat
dalam berbagai ragam penggunaan bahasa, termasuk bahasa sastra. Demikian pula
halnya dengan makna denotatif. Bahasa sastra tidak mungkin secara menyaran pada
makna konotatif saja tanpa melibatkan sama sekali makna denotatif. Penuturan
yang demikian akan tidak memberi peluang kepada pembaca untuk dapat
memahaminya. Pemahaman pembaca, bagaimanapun akan mengacu dan berangkat dari makna
denotatif atau paling tidak makna itu akan dijadikan dasar pijakan. Sebaliknya
makna konotatif pun banyak dijumpai dan dipergunakan dalam penggunaan bahasa
yang lain selain sastra, misalnya yang tidak tergolong karya kreatif.
2. Macam Penggunaan Bahasa
dalam Prosa Fiksi
·
Ditunjau dari ragam
bahasa yang digunakan oleh sastrawan.
1. Bahasa
Pertama atau Bahasa Ibu
Setiap sastrawan pasti memiliki
latar belakang kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lain, itulah
sebabnya bahasa yang digunakan juga akan berbeda. Bahasa pertama atau bahasa
ibu adalah bahasa yang pertama kali digunakan oleh sastrawan, bahasa pertama
atau bahasa ibu juga akan berpengaruh pada karya sastra sastrawan.
2. Bahasa
Nasional (Bahasa Indonesia)
Bahasa nasional adalah bahasa yang
secara luas digunakan oleh penutur, karena ini adalah identitas nasional suatu
bangsa, walaupun seseoarang berasal dari daerah tertentu, ia tetap wajib
belajar dan memahami bahasa nasional. Sehingga dalam kominikasi anatar daerah,
bahasa nasional bisa dijadikan sarana yang tepat.
Begitu juga dengan seorang sastrawan
saat berkarya, ketika ia menginginkan karya sastranya bisa dibaca dan dipahami
oleh semua kalangan, maka bahasa yang digunakan dalam melahirkan sebuah karya
sastra adalah bahasa nasional.
3. Bahasa
Asing
Berbeda lagi dengan bahasa asing,
jarang sastrawan menggunakan bahsa asing dalam melahirkan sebuah karya
sastranya, karena bahasa asing jauh dengan kehidupan lingkungan masyarakat yang
ia tempati. Namun, ada juga sastrawan yang menggunakan bahasa asing dalam
karyanya, biasanya bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda, hal itu terjadi
bisa kerena pengaruh sejarah kehidupan negara yang dalam riwayatnya pernah
dijajah oleh Belanda.
·
Ditinjau dari gaya
bahasa yang digunakan oleh sastrawan.
1. Hiperbola
Gaya hiperbola mengarah pada
melebih-lebihkan pada suatu pernyataan,
apabila ditinjau penggunaan gaya bahasa hiperbola
pada cerita fiksi akan menunjukan sikap melebih-lebih pada suatu peristiwa yang
ada dalam cerita fiksi tersebut.
2. Metonimia
Gaya metonimia adalah gaya bahasa
yang mengungkapkan penggunaan sebutan untuk sesuatu dengan ciri khasnya.
3.
Sarkasme
Sarkasme adalah suatu peryataan yang
bersifat mengungkapkan sindiran langsung dan kasar, gaya bahasa ini akan
menimbulkan rasa sakit hati pada orang yang dituju.
3. Cara
Penggunaan bahasa dalam Prosa Fiksi
Bahasa pada hakikatnya merupakan teknik pemilihan
pengungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan
diungkapkan. Teknik itu sendiri, dipihak lain juga merupakan suatu bentuk
pilihan, dan pilihan itu dapat dilihat pada bentuk ungkapan bahasa seperti yang
dipergunakan dalam sebuah karya. Sebagai pembuat fiksi, pengarang berarti
bekerja dengan sarana bahasa. Dalam konteks yang lebih umum, yang pertama
berhubungan dengan masalah bagaimana cara (seseorang) mengatakan sesuatu.
Sebuah fiksi hadir dihadapan pembaca, untuk menawarkan sebuah dunia, namun hal
itu dapat dicapai lewat sarana bahasa.
Komentar
Posting Komentar